-dimuat
di Lampung Post Akhir 2008-
Kalau kau buta, mudah saja
mengetahui kapan senja hendak rebah kemudian datanglah malam. Senja hendak
rebah, terdengarlah nyanyian perempuan dengan suara miris seperti orang
tercekik. Ia bernyanyi menelusuri jalan setapak. Sesekali saja ia berhenti,
memetik kelopak tetumbuhan merambat, atau kuntum enceng gondok yang terdampar
di tepi jalan itu.
***
Aku yang pernah terkagetkan
oleh suara piring jatuh membentur tembikar, tak pernah mendengar suara atau
nyanyian yang lebih menyayat ketimbang nyanyian perempuan yang kukenal pendiam
itu. Nyanyian perempuan itu, betapa lantangnya. Menyebar ke segala sudut.
Bahkan bisa dipastikan, liang-liang ular di bawah rimbunan ilalang itu pun ikut
gaduh.
Dan dengan nyanyian inilah
malam terjemput penuh syahdu. Gugusan-gugusan bintang sembunyi di balik
mendung, rembulan gelisah, angin menyerbu pelan-pelan sekitar pemakaman.
Runtuhlah daun-daun pohon itu, melenggang-lenggang lantas hinggap di rambut
perempuan itu. Kerah bajunya yang ikut dimasuki dedaunan, membuatnya menggerak-gerakkan
tangannya sedikit risih.
Perempuan itu akan terus
mengembarakan suaranya. Sampai gelap merata, ketika bayi yang ia gendong mulai
merasa dingin. Bernyanyilah perempuan itu, beradu dengan tangis bayi. Dan suara
perempuan itu, tangis bayi itu, tak layaknya suara yang keluar dari kerongkong
manusia. “Terompet Isrofil,” begitu aku menyebutnya.
“Salam hormat untuk kakanda, panglima terjantan sejagat.” Seraya mengangkat
lengan memberi hormat, perempuan itu mengucap salam. Ia sudah sampai pada
tempat yang amat tersembunyi. Berkerubung ilalang-ilalang panjang, hampir
seukuran tubuh perempuan itu. Beratapkan lubuh-lubuh serta ranting-ranting
pohon besar yang sangatlah rindang. Di sinilah seorang yang ia sebut “panglima”
merebahkan tubuh selama-lamanya. Makam seorang suami yang jangan kau gugat
seberapa mulyanya ia di hadapan perempuan itu.
“Salam hormat kedua kalinya,
perwakilan bayi laki-lakimu yang tak henti menangis,” kemudian ia menurunkan
lengan tangan kanannya, lantas memegang lengan si bayi, dan menyentuhkannya
pada nisan. Bayi yang ia gendong semakin menangis, kedua kakinya
menendang-nendang perut perempuan itu.
“Panglima, kapan kau sudi
mengajari bayimu ini arti kejantanan. Dia tak seperti dirimu, panglima.
Kejantananmu, ah, siapa yang bisa menandingi.”
Daun-daun luruh. Angin bertiup
namun tak mengamuk, dan anjing-anjing lapar tak melolong melempari malam. Hanya
saja, siapa yang sanggup menahan tangis bayi itu. Searah daun-daun kering yang
luruh, air mata bayi menitik membasah di pipinya.
“Bayimu ini laki-laki. Tapi
tangisnya… Apa benar dia hasil dari benih yang panglima tanam di rahimku. Pagi,
siang, malam, bayimu ini tak henti menangis. Mirip orang yang tak mempunyai
kejantanan saja, panglima!”
Bila kau menganggap perempuan itu sinting, cepat-cepatlah menyesal dengan
ungkapanmu itu.
Ia masih mampu membedakan air
dengan minyak, hitam dengan kelabu, pasir dengan debu, laut dengan sungai.
Bahkan membedakan rayuan dengan ajakan yang memang tulus, ia pun sanggup.
Perempuan yang boleh ditaksir masih berumur tiga puluh tahun, (usia seorang ibu
muda) boleh dikata masih cantik, seumpama saja rambut kumalnya dipotong cesual
dan diberi pelembab setelahnya. Tak merugi suaminya yang ia panggil “panglima”
meminangnya ketika paras wajahnya masih menyimpan aura penuh pesona.
“Panglima, hidup ini hikayat
neraka.”
Membayangkan perjalanan hidup,
tak semudah menebak habisnya ajal sebatang lilin. Sebatang lilin di waktu
gelap, ah, kau sanggup menebaknya kapan sumbu itu habis. Kau bisa mempersiapkan
sebatang yang baru sebelum lima atau enam jam lilin itu padam. Namun hidup ini,
keputusan yang dituliskan Tuhan seperti tersembunyi jauh di langit sana, atau
bahkan lebih jauh dari itu.
“Panglima, hidup ini hikayat
neraka.”
Nyanyiannya mengalun lebih
keras dibanding ketika ia baru datang di pemakaman. Perempuan itu
mengayun-ayunkan badannya, menepuk-nepuk pantat si bayi, dan kedua matanya
berbinar-binar memandang nisan bertuliskan, “PANGLIMA HARDANI”
Bentuk tulisan yang amat samar. Tak tertulis dengan cat, namun hanyalah
goresan-goresan benda tajam seolah tertulis alakadarnya.
“Panglima, hidup ini hikayat
neraka!” tanpa jenuh ia mengulangi kalimat tersebut. Dengan suara parau,
layaknya seorang istri yang mengadu kepada suaminya. Tapi, ia memang sedang
mengadu, bukan?! Air matanya tergerai, ia sedang berkeluh kepada suami yang ia
sebut “panglima” itu.
Apakah setiap kali perempuan
itu datang ke pemakaman “panglima”, Tuhan tak sudi mengulurkan tangan suci-Nya
guna menebarkan ketenangan di benak perempuan itu, bayi itu. Sehingga ia selalu
merasakan desakan-desakan luar biasa setibanya di pemakan suami yang ia sebut
panglima.
***
Mengenang gemericik kehidupan
perempuan itu, “Ketika bersuami lelaki yang sangat dicintai, yang sebulan
setelah pernikahan sudah mampu membuat perut perempuan itu mual-mual, ia
muntah.” Lantas berujarlah bahwa,” benih yang kau masukkan, panglima, sebentar
lagi akan menjelma panglima kecil. Kau akan semakin paham seberapa ringannya
tangan Tuhan untuk membolak-balikkan kehidupan manusia. Menumpahkan kebahagiaan
dan menggantikannya dengan nestapa yang tak berujung. Membuang kekayaan yang
sudah menggunung menjadi kelaparan yang mengimpit. Tangan Tuhan sungguh kuasa,
janganlah kau berbangga hati bila Tuhan sekarang menampakkan di hadapanmu
sekarung emas. Sekarung kebahagiaan yang dulu perempuan itu rasakan, sirnalah
sudah.”
Namun tak usah kau suruh bumi
berhenti berputar, dan memerintahkan Tuhan untuk mengulang putaran hari-hari
perempuan itu. Perempuan itu tak butuh dikembalikan kepada waktu-waktu yang
indah, sekali pun hidup ini hikayat neraka. Di dalam jiwanya ia masih menyimpan
hati yang sangat mencintai “panglima”, yang kadang-kadang bila perempuan itu
melihat lukisan pernikahannya ia mendadak tertawa beriak-riak, kemudian
berjalanlah ia menelusuri jalan setapak itu seraya bernyanyi.
***
Mengapa angin berhenti bertiup.
Daun-daun tak lagi luruh, dan lolongan anjing menyemarakkan malam. Apakah
tangan Tuhan benar terulur di dekat helai-helai rambut perempuan itu, mengelus
pipi bayi itu, lalu berseraklah benih-benih kebahagiaan di batin perempuan itu.
Benarkah.
Tidak-tidak. Tidak! Tuhan belum mengulurkan tangan-Nya. Angin bertiup lagi dan
tidak mengamuk, daun-daun luruh, anjing-anjing liar berhenti melolong melempari
malam. Dengarlah bayi itu menagis. Perempuan itu bernyanyi membelah malam,
menembus ilalang.
“Kejantananmu, panglima, siapa
lelaki yang sanggup mengimbangi. Dengan maksud tak mau bertindak curang, kau
berucap terang-terang di hadapanku bahwa hatimu sedang tergila-gila oleh
perempuan lain. Kau bilang, tak bisa lagi menahan rasa yang menggebu-gebu itu.
Sesuatu yang mendidihkan hatimu, membuatmu gelisah, dan kau ucapkan permintaan
secara jantan di hadapanku. Kau sungguh jantan, melontarkan kalimat permohonan
supaya aku sudi memberikan izin agar kau tak mati terikat cinta, yang lagi-lagi
katamu tak bisa ditahan-tahan.”
Selesai ia berkata. Badannya
kembali bergoyang-goyang, terdengarlah nyanyian itu.
Ketika memandang lengan
kirinya, didapatinya sunggingan bekas luka, lurus, tak sebegitu tebal. Namun
bekas luka itu sangatlah jelas. Timbul di atas kulitnya yang putih.
“Panglima, maafkan istrimu yang
ceroboh ini. Maafkan, panglima!” air matanya tergerai, merangkak di kedua
pipinya, mengendap sebentar di bibir, lantas jatuh persis di dahi bayi itu.
Kedua matanya yang tengadah memandang daun-daun yang masih berjatuhan.
“Panglima, aku tak bermaksud
membunuhmu. Kau lelaki jujur, penghormat wanita. Kedua tanganmu suka
mengelus-elus rambutku, mencumbuku. Bahkan ayunan di pertamanan itu, aku masih
ingat ketika kedua tanganmu memain-mainkan rantainya, ayunan bergoyang, kau
buai aku penuh kasih, panglima!
Namun malam itu, PYARR, kau
pecahkan cermin almari, kau suruh aku menusukkan pecahan cermin tersebut.
Sehabis mulutmu meminta izin guna bercinta dengan perempuan yang kau
gila-gilai, kedua bibirmu bergetar berucap, “Tusukkan cermin itu di dadaku,
istriku. Aku ini lelaki bodoh. Bunuh saja diriku, istriku!”
Ah, terlalu jantan dirimu,
panglima. Bahkan untuk menebus “kesalahanmu” yang telah berani jatuh hati
kepada perempuan lain, kau rela tertusuk.
Aku ambil pecahan cermin.
Dirimu yang bersandar di tembok dekat dipan, kupandang sebentar dengan mata
tajam. Aku berdiri, dan pecahan kaca itu sudah ada di tanganku. SYRRIIT. Darah
mengalir di lenganku. Kuiriskan pecahan kaca itu tepat di lenganku. Ya, di
lenganku, panglima.
Setelah kulihat pecahan kaca itu berlumur darah, lekas-lekas kutusukkan pecahan
kaca itu di dadamu, di dadamu!
Tubuhmu berdarah, ya, dan kau…”
Perempuan itu berdiri. Di
hapusnya air mata yang masih menetes di dahi bayi. Ia mendekati rimbunan
ilalang. Angin memainkan helai rambutnya. Jemari tangannya yang lentik memetik
kelopak enceng gondok, memenuhi genggaman lantas berlutut lagi di samping
pemakaman.
“Panglima, aku yakin kau tahu
perasaanku. Panglima tahu apa yang sebenarnya aku kehendaki. Ya, aku hanya
bermaksud menyatukan darahku dengan darahmu, panglima. Oleh sebab itulah,
kulumuri pecahan kaca itu dengan darahku sebelum kutusukkan di dadamu. Supaya
darah lenganku itu masuk di dadamu. Agar kau tak lagi gelisah, dan abadilah
kebahagiaan kita.
Namun. Namun, apalah daya,
panglima. Aku terlalu tajam menusukkan pecahan kaca itu. Ketika itu, hatiku
terlampau penuh akan emosi. Dan aku yakin kau tahu, panglima, bagaimana seorang
wanita apabila mendengar lelakinya mencintai wanita lain. Dan jam yang berlalu
seperti pisau berterjangan mencium luka.1) Angin menebarkan bau anyir, seperti
ada darah yang menggenang, tercecer-cecer, melekat di setiap sudut.
Anjing-anjing itu, kini
melolong melempari malam. Langit tumpahkan tangis.
***
Lamongan, 11 Mei 2008