-dimuat di Suara Pembaruan pada pertengahan 2008-
Aku tidak hendak bercerita kepada siapa-siapa. Tentang
aroma wangi buah sebesar bola, berduri banyak; yang jika kau terlalu berambisi
menyentuhnya akan berteriak, “aauw!” Namun terhadap seorang perempuan, aku
benar-benar sudi menceritakan semua itu. Kepada perempuan yang aku namai
kenangan. Ya, sebab perempuan bagiku tak lebih dari masa lalu: sekedar diingat,
tak untuk disesali.
Jika saudari datang ke Jogja dan melewati jalan Magelang, —semisal dari
mengelilingi candi Borobudur lantas ingin bernostalgia di tugu monument, atau
turun dari stasiun Jombor lantas hendak ke Pasar Kembang— berhentilah
sejenak. Perhatikan sekitar, dan tariklah nafas perlahan-lahan. Apa yang saudari
rasakan? Berjalan di sepanjang jalan Magelang, pada putaran akhir Desember
sampai Februari, saudari akan mendapati aroma khas yang begitu kental.
Sekali lagi, saudari perhatikan sekitar.
Bahwasanya buah berwarna tak jelas antara
hijau-kuning-coklat yang digantung dengan rumput jepang, yang seseorang
harus mengulurkan lembaran tujuh ribu sampai lima puluh ribu jika ingin
membelinya itu, mempunyai banyak cerita dalam kepalaku.
“Itulah durian,” namun menurut kawanku asli Seram Timur,
buah itu bukanlah durian. “Rulen,” ucapnya.
Durian, wahai perempuan, bila kau suruh aku bercerita
panjang mengenainya, maka dengan tempo yang tak cukup menghabiskan sekaleng
roti mari dan secangkir kopi, akan aku keluarkan dari mulutku segala kisah
tentangnya. Tentang duri dan bentuknya yang sedikit mirip dengan nangka.
Tentang aromanya yang membuat perut terasa berisi. Tentang warna luarnya yang
bercampur antara hijau-kuning-coklat. Tentang keberadaannya yang sangat sulit
ditanam di sembarang tanah.
“Cantik,” ayahku berkata demikian.
Memandang bagian dalam buah durian, ayah seringkali
mensangkut-pautkan dengan kulit ibu sewaktu remaja. Tidak gembira, ibuku malah
marah-marah. Katanya, “Ayahmu ini suka sembarangan!” Kuning buah durian, –jika
diperhatikan—tidaklah rata! Di bagian tengah, agaklah putih. Namun tidak di
bagian pinggirnya, (dan inilah bagian yang paling ayah suka. Ketika jemari ayah
bersiap mencengkeram buah itu, maka terlebih dahulu beliau mencolek bagian
tepinya. Lantas dijilatnya jemari tersebut. Setelah kemudian menyeringailah
mulut ayah, mengkabarkan kepada kita: “uenak tenan, le!”).
Jika ayah menyamakan daging buah durian dengan kulit
wajah ibu, berarti ayah menganggap wajah ibuku belepotan panu. Hanya
perempuan berotak dungu yang diam saja sewaktu diamsalkan seperti itu.
Buah durian, tidaklah bisa kita nikmati dengan
ketergesa-gesaan. Selain seperti yang aku tuturkan, bahwa saudari akan
berteriak auuww jika terburu-buru, buah durian kuranglah sedap bila
dikecap layaknya orang kebelet ke kamar mandi. “Harus tenang, le!”
dengarlah perintah ayah ini.
“Kunyahlah seperti kau menghitung jumlah gigi
atas-bawahmu,” kali ini ibuku. Dan memang, ketika saudari melahap durian sambil
menerawangkan pandang ke atap-atap rumah, atau sesekali merem-melek,
saudari akan terbuai dalam kenikmatan yang panjang. Kenikmatan surga!
“Sembarangan! Jangan mencoba-coba menyamakan keindahan
surga dengan segala apapun di dunia!” ayahku tak terima.
Dari durian, —mungkin saudari
sulit untuk percaya— bahwa aku telah mempelajari banyak hal. “Jangan
terburu-buru mengklaim jelek bentuk luar seseorang,” kututurkan
pelajaran berharga tersebut terhadap kawan. Sambil manggut-manggut, ternyata
pada keesokan harinya, kulihat pedoman itu dia tulis pada buku diarinya.
Mengenai pelajaran penting buah durian, bisa saudari baca pada daftar outbox
hapeku.
“Ambil pisau!” Ayahku memerintahkan. Kulit landak durian
yang keras, sebanding sekali dengan kelezatan buahnya. “Maka mengertilah, sesuatu
yang nikmat, selalu peroleh penjagaan yang ketat pula,” ibuku. Dan memang
betul. Sebab gadis bernama Anggun (yang menjadi kembang desa di kampungku,
sekaligus pacar masa laluku), selalu peroleh perhatian sungguh-sungguh. Dari
bapaknya, yang berkumis tebal, berambut gimbal, punya anak bungsu namanya Ikal.
Ditambah lagi, hobinya makan sambal.
“Siapa?” teriak bapak Anggun. Sejam dalam rumah Anggun,
aku tak bisa merasakan teduhnya orang pacaran. Dari lantai atas, bapak Anggun
mempunyai daya cium yang luar biasa terhadap kumbang-kumbang jalang. Maka,
sebelum kau bertandang ke rumahnya, selipkan handset ke dalam lubang telingamu.
Niscaya kau tak akan mendengarkan lonjakan kalimat lelaki seram itu, namun
bersiaplah dirimu kubilang sinting kemudian hari.
***
“Belok ke kanan,” perintahku terhadap seorang kawan.
Ketika kami sehabis berbelanja di jalan Solo, dan lurus menuju ke jalan Kiai
Mojo. Belok ke kanan, saudari, berarti menuju jalan penuh aroma khas itu: jalan
Magelang.
“Dari stasiun Tugu belok ke kanan, lalu lurus saja ikuti
arah jalan. Sehabis berhenti di lampu merah, itulah jalan Magelang,” kujawab
sms seorang kawan yang menanyakan tempat paling asyik untuk membelah durian.
“Di sini, kau bisa memilih berbagai macam lesehan.”
Lanjut jawabku.
Mungkin saudari akan mendapati banyak penjual durian di
kota Jogja. Di sepanjang jalan Laksda Adisucipto, saudari bisa memilih banyak
lesehan yang menggantung buah yang katanya bermuasal dari hutan Malaysia itu.
Namun, di jalan Magelang, aroma durian lebih terasa berbeda. (Itu bagi lubang
hidungku. Oleh sebab itu, seorang kawan pernah meradang bukan main, bilangnya,
“lah wong sama saja. Kenapa kau harus mengundangku jauh-jauh dari luar
kota?”)
Seperti berbalut kenangan, aku mencium aroma durian penuh
penghayatan.
Sebab aku tak ingin membuat saudari-saudari semua kecewa,
akan aku ceritakan segala yang berkenanaan dengan durian. Kali ini, –sebab ini
cerpen– cukuplah kedua bibirku menceritakan hikayat persaudaraan antara
durian-nangka, beserta kenangan Jalan Magelang. Biarkan kuhisap sebatang rokok
terlebih dahulu, lantas kuseruput secangkir kopi, dan dengarlah cerita ini.
Cerita Pertama: Kerajaan Malaysia
Pada bagian awal ini, kumohon saudari mendengarkan
lantunan lagu berikut:
Le, koe ojo mlayu
Sore-sore, batinmu kok yo nesu
+Ilingo ono cerito
Duren dulure nongko
Apel kakak’e mangges
Dasar manusia yang diberkahi tuhan rasa lupa, maka
sayang-seribu sayang, aku tak bisa mengingat siapa pencipta lirik di atas.
Namun setidaknya, saudari paham apa yang hendak aku sampaikan. Bahwasanya lirik
yang aku ketik itu sudah mewakili sebuah ungkapan: “jangan mudah marah
sesama saudara”. Nangka, dulu, masihlah berkerabat dengan duren. Bila
saudari mendapati duren berbiji besar, maka nangka juga demikian: berduri
lumayan besar, beraroma yang tak kalah sedap.
Namun, sejarah hutan Malaysia telah mencatat sebuah
cerita. Di mana nangka telah menyemai benci terhadap duren. Terhadap buah yang
siap kugadaikan hape nokia keluaran 2003 untuk membelinya.
Konon, berkuasalah seorang raja di dekat belantara
melayu. Keadilan raja tersebut, membuat makmur seluruh warga sekitar. Maka
sekali raja bertitah, tak mungkin wujud seorang rakyat yang berani membantah.
Tak terkecuali hewan-hewan, juga pepohonan. Di antara pohon-pohon yang tumbuh
di sekitar kerajaan, ada satu jenis pohon yang sering mencuri perhatian sang
raja. “Wahai perdana mentriku, perintahkan salah seorang utusan untuk mencari
buah apakah yang tercium begitu lezatnya ini?!” perintah raja, malam-malam.
Maka pagi itu, ketika rumput masihlah basah, ketika jalak
beserta emprit-emprit liar lelap di ranting jambu, datanglah beberapa prajurit
menyibak belantara. Pelan sekali mereka berjalan. Seolah berhati-hati, sungguh.
“Sebab aku tak mau membangunkan tidur rakyatku, berhati-hatilah!” lagi-lagi
perintah raja.
Pada pohon yang paling rindang, sekelompok prajurit itu
berhenti. Salah satu dari mereka menyalakan korek api untuk membakar sumbu
obor, dan seorang yang lain bersiap-siap mengambil anak panah. “Sebentar,
perhatikan terlebih dahulu. Apakah benar aroma sedap ini muncul dari pohon
ini?” tanyanya.
“Nyalakan obor satu lagi. Lihat dengan cermat!”
Lama mereka meneliti. Sampai akhirnya bangunlah
emprit-emprit liar, dan mendekatlah kepada mereka. Dengan bahasa emprit,
dijelaskan bahwa memang benar buah inilah yang menyebarkan aroma khas. Aroma
yang membuat pohon lain merasa kalah, —mungkin juga iri.
Belumlah sampai siang, utusan kerajaan itu pulang seraya
menggotong beberapa biji durian. Memasuki gerbang kerajaan, seluruh prajurit
dibuat menarik nafas perlahan-lahan. Semuanya bertanya, “aroma apakah ini?”
Perburuan siang itu, berakhirlah dengan keceriaan sang
raja. Dan malam harinya, dipanggilnya beberapa dayang beserta para patih. “Coba
kalian rasakan, betapa nikmatnya buah ini!”
Namun, di keesokan harinya, datanglah jalak.
“Tuk-tuk…tuk-tuk..tuk-tuk!” peruh jalak mengetuk jendela patih.
“Ada apa?” patih yang masih becek dengan belek, bertanya
lemas terhadap jalak. Lantas dijelaskannya bahwa di sekitar pohon yang beraroma
khas itu, telah terjadi peristiwa aneh. “Sebatang pohon tumbang tanpa sebab?”
tanya patih keheranan. Dengan segera pula, beberapa utusan kerajaan kembali
menelusuri jalan tengah hutan.
Saudari pernah mendengar gaya komunikasi emprit? Bila
belum, maka cerita ini akan membuat ‘pernah’ telinga saudari. Ketika prajurit
sampai di tengah belantara, maraklah para emprit mengerumuni prajurit. Dan
berkatalah emprit:
“Maaf, kami haturkan kepada prajurit kerajaan. Tanpa
bertujuan menyalahkan tindak kerajaan, kami hanya ingin mengkhabarkan, bahwa
telah terjadi kecemburuan di belantara hutan Melayu ini. Dan kecemburuan itu,
berawal dari tindak prajurit yang mengambil beberapa biji buah dari pohon
bernama durian.”
Tidak tenang, para prajurit malah dirundung penasaran
setelah mendengar sepintas penjelasan emprit.: kami tak paham dengan yang
kalian maksud, ungkap salah satu dari mereka.
“Begini para prajurit: jadi di belantara ini, hiduplah
dua pohon yang saling bersaudara. Pohon yang tumbang ini, tidaklah berbeda
dengan pohon yang kemarin hari tuan-tuan petik buahnya. Tak ada yang membedakan
antara keduanya. Kecuali sekedar tempat.
Bila pohon yang kemarin tuan ambil buahnya berdiri tak
terhalang ilalang, maka pohon yang tumbang ini, seperti yang tuan saksikan,
tumbuh di tengah belantara ilalang. Ketika baginda raja penasaran lantas
kemudian mencari buah yang beraroma nikmat, kedua buah ini salinglah menaruh
harapan supaya dia yang beruntung dipetik buahnya dan dimakan oleh sang raja. Namun,
ternyata tuan hanya mengambil salah satu dari mereka. Maka menangislah pohon
ini, dan mulailah tumbuh di benaknya rasa dengki, rasa iri terhadap saudaranya.
Sebagai keputusan akhir, dia memerintahkan dewa bumi untuk mencerabuti akarnya.
Supaya dia mati. Dan sang raja akan mengetahui kisah sedihnya ini!”
Betapa tragisnya akhir dari pengorbanan. Padahal,
usut-punya usut, banyaknya jumlah pohon ini sanggup menahan kelongsoran yang
sering mengacam kerajaan. Ketika pohon itu memutuskan untuk tumbang, berubahlah
buahnya menjadi layu. Dan duri yang sebelumnya sedikit, semakin bermunculan,
dan sedikit mengecil. “Pohon ini terlanjur mati, bila buahnya kita bawa pulang,
apa mungkin baginda raja sudi memakannya?” ucap para prajurit.
Begitulah. Dan sampai sekarang, nangka lebih terlihat
layu ketimbang durian.
Cerita Kedua: Kenangan Jalan Magelang
Aku ini, sudahlah hidup dengan matang. Sematang buah
durian di ujung Februari, begitu aku menyombongkannya. Sebab, jika saudari
bertanya mengenai materi, di garasi rumahku, telah terparkir Nissan X-Trail
25st. Mengenai rumah, maka, datanglah sendiri ke sini. Lihatlah rumah megah di
Jalan Magelang, Km bla bla bla. Mengenai jodoh… ini yang ingin aku ceritakan.
Bahwa, Jalan Magelang, beserta buah durian, telah membentuk kenangan
tersendiri.
Cerita yang kusuguhkan di atas, adalah cerita yang
dituturkan seorang gadis. Gadis itu, bukanlah Anggun yang berbapak garang.
Kutaksir, umurnya tak terpaut jauh dariku. Pertemuan yang berulang-ulang di
lesehan durian Jalan Magelang, pada bulan Desember sampai akhir Februari,
membuat kita bercerita banyak tentang durian.
Namun, Tuhan memaksaku untuk menjadikan perempuan sekedar
kenangan. Sebab, gadis manis berkacamata minus, berambut tak begitu panjang,
telah menolak tawaranku sebagai suami.
Sudah kubilang, harta dan kepintaran seseorang tak akan
berimbas apa-apa kepada jodoh, jikalau seseorang masih suka telat bangun pagi,
tutur ibuku.
Tak tahulah!
***
Yogyakarta, 6 Februari 2008