Senin, 17 Maret 2014

Hikayat Durian, Kenangan Jl. Magelang

Share & Comment

Cerpen Naqib Najah
-dimuat di Suara Pembaruan pada pertengahan 2008-
Aku tidak hendak bercerita kepada siapa-siapa. Tentang aroma wangi buah sebesar bola, berduri banyak; yang jika kau terlalu berambisi menyentuhnya akan berteriak, “aauw!” Namun terhadap seorang perempuan, aku benar-benar sudi menceritakan semua itu. Kepada perempuan yang aku namai kenangan. Ya, sebab perempuan bagiku tak lebih dari masa lalu: sekedar diingat, tak untuk disesali.
Jika saudari datang ke Jogja dan melewati jalan Magelang, —semisal dari mengelilingi candi Borobudur lantas ingin bernostalgia di tugu monument, atau turun dari stasiun Jombor lantas hendak ke Pasar Kembangberhentilah sejenak. Perhatikan sekitar, dan tariklah nafas perlahan-lahan. Apa yang saudari rasakan? Berjalan di sepanjang jalan Magelang, pada putaran akhir Desember sampai Februari, saudari akan mendapati aroma khas yang begitu kental.
Sekali lagi, saudari perhatikan sekitar.
Bahwasanya buah berwarna tak jelas antara hijau-kuning-coklat yang digantung dengan rumput jepang, yang seseorang harus mengulurkan lembaran tujuh ribu sampai lima puluh ribu jika ingin membelinya itu, mempunyai banyak cerita dalam kepalaku.
“Itulah durian,” namun menurut kawanku asli Seram Timur, buah itu bukanlah durian. “Rulen,” ucapnya.
Durian, wahai perempuan, bila kau suruh aku bercerita panjang mengenainya, maka dengan tempo yang tak cukup menghabiskan sekaleng roti mari dan secangkir kopi, akan aku keluarkan dari mulutku segala kisah tentangnya. Tentang duri dan bentuknya yang sedikit mirip dengan nangka. Tentang aromanya yang membuat perut terasa berisi. Tentang warna luarnya yang bercampur antara hijau-kuning-coklat. Tentang keberadaannya yang sangat sulit ditanam di sembarang tanah.
“Cantik,” ayahku berkata demikian.
Memandang bagian dalam buah durian, ayah seringkali mensangkut-pautkan dengan kulit ibu sewaktu remaja. Tidak gembira, ibuku malah marah-marah. Katanya, “Ayahmu ini suka sembarangan!” Kuning buah durian, –jika diperhatikan—tidaklah rata! Di bagian tengah, agaklah putih. Namun tidak di bagian pinggirnya, (dan inilah bagian yang paling ayah suka. Ketika jemari ayah bersiap mencengkeram buah itu, maka terlebih dahulu beliau mencolek bagian tepinya. Lantas dijilatnya jemari tersebut. Setelah kemudian menyeringailah mulut ayah, mengkabarkan kepada kita: “uenak tenan, le!”).
Jika ayah menyamakan daging buah durian dengan kulit wajah ibu, berarti ayah menganggap wajah ibuku belepotan panu. Hanya perempuan berotak dungu yang diam saja sewaktu diamsalkan seperti itu.
Buah durian, tidaklah bisa kita nikmati dengan ketergesa-gesaan. Selain seperti yang aku tuturkan, bahwa saudari akan berteriak auuww jika terburu-buru, buah durian kuranglah sedap bila dikecap layaknya orang kebelet ke kamar mandi. “Harus tenang, le!” dengarlah perintah ayah ini.
“Kunyahlah seperti kau menghitung jumlah gigi atas-bawahmu,” kali ini ibuku. Dan memang, ketika saudari melahap durian sambil menerawangkan pandang ke atap-atap rumah, atau sesekali merem-melek, saudari akan terbuai dalam kenikmatan yang panjang. Kenikmatan surga!
“Sembarangan! Jangan mencoba-coba menyamakan keindahan surga dengan segala apapun di dunia!” ayahku tak terima.
Dari durian,mungkin saudari sulit untuk percaya— bahwa aku telah mempelajari banyak hal. “Jangan terburu-buru mengklaim jelek bentuk luar seseorang,” kututurkan pelajaran berharga tersebut terhadap kawan. Sambil manggut-manggut, ternyata pada keesokan harinya, kulihat pedoman itu dia tulis pada buku diarinya. Mengenai pelajaran penting buah durian, bisa saudari baca pada daftar outbox hapeku.
“Ambil pisau!” Ayahku memerintahkan. Kulit landak durian yang keras, sebanding sekali dengan kelezatan buahnya. “Maka mengertilah, sesuatu yang nikmat, selalu peroleh penjagaan yang ketat pula,” ibuku. Dan memang betul. Sebab gadis bernama Anggun (yang menjadi kembang desa di kampungku, sekaligus pacar masa laluku), selalu peroleh perhatian sungguh-sungguh. Dari bapaknya, yang berkumis tebal, berambut gimbal, punya anak bungsu namanya Ikal. Ditambah lagi, hobinya makan sambal.
“Siapa?” teriak bapak Anggun. Sejam dalam rumah Anggun, aku tak bisa merasakan teduhnya orang pacaran. Dari lantai atas, bapak Anggun mempunyai daya cium yang luar biasa terhadap kumbang-kumbang jalang. Maka, sebelum kau bertandang ke rumahnya, selipkan handset ke dalam lubang telingamu. Niscaya kau tak akan mendengarkan lonjakan kalimat lelaki seram itu, namun bersiaplah dirimu kubilang sinting kemudian hari.
***
“Belok ke kanan,” perintahku terhadap seorang kawan. Ketika kami sehabis berbelanja di jalan Solo, dan lurus menuju ke jalan Kiai Mojo. Belok ke kanan, saudari, berarti menuju jalan penuh aroma khas itu: jalan Magelang.
“Dari stasiun Tugu belok ke kanan, lalu lurus saja ikuti arah jalan. Sehabis berhenti di lampu merah, itulah jalan Magelang,” kujawab sms seorang kawan yang menanyakan tempat paling asyik untuk membelah durian.
“Di sini, kau bisa memilih berbagai macam lesehan.” Lanjut jawabku.
Mungkin saudari akan mendapati banyak penjual durian di kota Jogja. Di sepanjang jalan Laksda Adisucipto, saudari bisa memilih banyak lesehan yang menggantung buah yang katanya bermuasal dari hutan Malaysia itu. Namun, di jalan Magelang, aroma durian lebih terasa berbeda. (Itu bagi lubang hidungku. Oleh sebab itu, seorang kawan pernah meradang bukan main, bilangnya, “lah wong sama saja. Kenapa kau harus mengundangku jauh-jauh dari luar kota?”)
Seperti berbalut kenangan, aku mencium aroma durian penuh penghayatan.
Sebab aku tak ingin membuat saudari-saudari semua kecewa, akan aku ceritakan segala yang berkenanaan dengan durian. Kali ini, –sebab ini cerpen– cukuplah kedua bibirku menceritakan hikayat persaudaraan antara durian-nangka, beserta kenangan Jalan Magelang. Biarkan kuhisap sebatang rokok terlebih dahulu, lantas kuseruput secangkir kopi, dan dengarlah cerita ini.
Cerita Pertama: Kerajaan Malaysia
Pada bagian awal ini, kumohon saudari mendengarkan lantunan lagu berikut:
Le, koe ojo mlayu
Sore-sore, batinmu kok yo nesu
+Ilingo ono cerito
Duren dulure nongko
Apel kakak’e mangges
Dasar manusia yang diberkahi tuhan rasa lupa, maka sayang-seribu sayang, aku tak bisa mengingat siapa pencipta lirik di atas. Namun setidaknya, saudari paham apa yang hendak aku sampaikan. Bahwasanya lirik yang aku ketik itu sudah mewakili sebuah ungkapan: “jangan mudah marah sesama saudara”. Nangka, dulu, masihlah berkerabat dengan duren. Bila saudari mendapati duren berbiji besar, maka nangka juga demikian: berduri lumayan besar, beraroma yang tak kalah sedap.
Namun, sejarah hutan Malaysia telah mencatat sebuah cerita. Di mana nangka telah menyemai benci terhadap duren. Terhadap buah yang siap kugadaikan hape nokia keluaran 2003 untuk membelinya.
Konon, berkuasalah seorang raja di dekat belantara melayu. Keadilan raja tersebut, membuat makmur seluruh warga sekitar. Maka sekali raja bertitah, tak mungkin wujud seorang rakyat yang berani membantah. Tak terkecuali hewan-hewan, juga pepohonan. Di antara pohon-pohon yang tumbuh di sekitar kerajaan, ada satu jenis pohon yang sering mencuri perhatian sang raja. “Wahai perdana mentriku, perintahkan salah seorang utusan untuk mencari buah apakah yang tercium begitu lezatnya ini?!” perintah raja, malam-malam.
Maka pagi itu, ketika rumput masihlah basah, ketika jalak beserta emprit-emprit liar lelap di ranting jambu, datanglah beberapa prajurit menyibak belantara. Pelan sekali mereka berjalan. Seolah berhati-hati, sungguh. “Sebab aku tak mau membangunkan tidur rakyatku, berhati-hatilah!” lagi-lagi perintah raja.
Pada pohon yang paling rindang, sekelompok prajurit itu berhenti. Salah satu dari mereka menyalakan korek api untuk membakar sumbu obor, dan seorang yang lain bersiap-siap mengambil anak panah. “Sebentar, perhatikan terlebih dahulu. Apakah benar aroma sedap ini muncul dari pohon ini?” tanyanya.
“Nyalakan obor satu lagi. Lihat dengan cermat!”
Lama mereka meneliti. Sampai akhirnya bangunlah emprit-emprit liar, dan mendekatlah kepada mereka. Dengan bahasa emprit, dijelaskan bahwa memang benar buah inilah yang menyebarkan aroma khas. Aroma yang membuat pohon lain merasa kalah, —mungkin juga iri.
Belumlah sampai siang, utusan kerajaan itu pulang seraya menggotong beberapa biji durian. Memasuki gerbang kerajaan, seluruh prajurit dibuat menarik nafas perlahan-lahan. Semuanya bertanya, “aroma apakah ini?”
Perburuan siang itu, berakhirlah dengan keceriaan sang raja. Dan malam harinya, dipanggilnya beberapa dayang beserta para patih. “Coba kalian rasakan, betapa nikmatnya buah ini!”
Namun, di keesokan harinya, datanglah jalak. “Tuk-tuk…tuk-tuk..tuk-tuk!” peruh jalak mengetuk jendela patih.
“Ada apa?” patih yang masih becek dengan belek, bertanya lemas terhadap jalak. Lantas dijelaskannya bahwa di sekitar pohon yang beraroma khas itu, telah terjadi peristiwa aneh. “Sebatang pohon tumbang tanpa sebab?” tanya patih keheranan. Dengan segera pula, beberapa utusan kerajaan kembali menelusuri jalan tengah hutan.
Saudari pernah mendengar gaya komunikasi emprit? Bila belum, maka cerita ini akan membuat ‘pernah’ telinga saudari. Ketika prajurit sampai di tengah belantara, maraklah para emprit mengerumuni prajurit. Dan berkatalah emprit:
“Maaf, kami haturkan kepada prajurit kerajaan. Tanpa bertujuan menyalahkan tindak kerajaan, kami hanya ingin mengkhabarkan, bahwa telah terjadi kecemburuan di belantara hutan Melayu ini. Dan kecemburuan itu, berawal dari tindak prajurit yang mengambil beberapa biji buah dari pohon bernama durian.”
Tidak tenang, para prajurit malah dirundung penasaran setelah mendengar sepintas penjelasan emprit.: kami tak paham dengan yang kalian maksud, ungkap salah satu dari mereka.
“Begini para prajurit: jadi di belantara ini, hiduplah dua pohon yang saling bersaudara. Pohon yang tumbang ini, tidaklah berbeda dengan pohon yang kemarin hari tuan-tuan petik buahnya. Tak ada yang membedakan antara keduanya. Kecuali sekedar tempat.
Bila pohon yang kemarin tuan ambil buahnya berdiri tak terhalang ilalang, maka pohon yang tumbang ini, seperti yang tuan saksikan, tumbuh di tengah belantara ilalang. Ketika baginda raja penasaran lantas kemudian mencari buah yang beraroma nikmat, kedua buah ini salinglah menaruh harapan supaya dia yang beruntung dipetik buahnya dan dimakan oleh sang raja. Namun, ternyata tuan hanya mengambil salah satu dari mereka. Maka menangislah pohon ini, dan mulailah tumbuh di benaknya rasa dengki, rasa iri terhadap saudaranya. Sebagai keputusan akhir, dia memerintahkan dewa bumi untuk mencerabuti akarnya. Supaya dia mati. Dan sang raja akan mengetahui kisah sedihnya ini!”
Betapa tragisnya akhir dari pengorbanan. Padahal, usut-punya usut, banyaknya jumlah pohon ini sanggup menahan kelongsoran yang sering mengacam kerajaan. Ketika pohon itu memutuskan untuk tumbang, berubahlah buahnya menjadi layu. Dan duri yang sebelumnya sedikit, semakin bermunculan, dan sedikit mengecil. “Pohon ini terlanjur mati, bila buahnya kita bawa pulang, apa mungkin baginda raja sudi memakannya?” ucap para prajurit.
Begitulah. Dan sampai sekarang, nangka lebih terlihat layu ketimbang durian.
Cerita Kedua: Kenangan Jalan Magelang
Aku ini, sudahlah hidup dengan matang. Sematang buah durian di ujung Februari, begitu aku menyombongkannya. Sebab, jika saudari bertanya mengenai materi, di garasi rumahku, telah terparkir Nissan X-Trail 25st. Mengenai rumah, maka, datanglah sendiri ke sini. Lihatlah rumah megah di Jalan Magelang, Km bla bla bla. Mengenai jodoh… ini yang ingin aku ceritakan. Bahwa, Jalan Magelang, beserta buah durian, telah membentuk kenangan tersendiri.
Cerita yang kusuguhkan di atas, adalah cerita yang dituturkan seorang gadis. Gadis itu, bukanlah Anggun yang berbapak garang. Kutaksir, umurnya tak terpaut jauh dariku. Pertemuan yang berulang-ulang di lesehan durian Jalan Magelang, pada bulan Desember sampai akhir Februari, membuat kita bercerita banyak tentang durian.
Namun, Tuhan memaksaku untuk menjadikan perempuan sekedar kenangan. Sebab, gadis manis berkacamata minus, berambut tak begitu panjang, telah menolak tawaranku sebagai suami.
Sudah kubilang, harta dan kepintaran seseorang tak akan berimbas apa-apa kepada jodoh, jikalau seseorang masih suka telat bangun pagi, tutur ibuku.
Tak tahulah!
***
Yogyakarta, 6 Februari 2008

Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © 2025 New Paraqibma | Designed by Templateism.com