Senin, 17 Maret 2014

Bapak Izrail

Share & Comment

Cerpen Naqib Najah
-dimuat di Surabaya Post September 2008-
Seperti apa anggapanmu tentang kematian? Kuharap kau tidak menangis, tak bersedih sewaktu ada nyawa melayang. Sebab, tanpa kau sadari, air mata tak akan menghidupkan seseorang dari kematian. Dan Tuhan tak mau membayar tangis dengan pahala.
***
Aku mengenal Izrail semenjak lilin dengan bentuk angka tujuh ditiup. Kue dipotong. Lantas, mama, paman, tante, kakak, dan tentunya mbok Yem, meneriakkan nyanyian, “Happy birthday to you…. Happy birthday to you… Happy birthday to tou…”
Ketika Tuhan mengizinkanku menginjak umur ke tujuh, ketika itulah Tuhan mengenalkanku dengan makhluk penakluk nyawa seluruh umat manusia: Izrail. Perkenalan yang singkat, dan tak akan terlupakan.
Kau tahu, bagaimana izrail itu sebenarnya? Jangan mengatakan dia adalah sosok yang seram. Sebelum kau tahu, dan pernah bertatap muka dengannya.
Malam ulang tahun, di atas dipan, setelah kupejamkan kedua mataku lelap, Tuhan mengutus Izaril. Merasuk di mimpiku, lantas terjadilah perkenalan itu.
“Asti, bangun!”
“Bangun, Asti!”
“Hay, siapa kamu?”
“Ayo! Bangun, Asti” Seorang berperawakan gagah memanggilku, lirih, sayup. Persis cara mbok Yem membangunkanku.
“Bapak siapa….?”
Aku masih seperti gadis kecil. Dalam sebuah film, pernah kulihat gadis kecil didatangi orang tua berjubah putih. Dan ketika orang tua berjubah putih tersebut duduk di sampingnya, gadis kecil itu berucap sebagaimana ucapanku itu.
“Sebentar-sebentar, sepertinya Asti pernah mengenal bapak! Ya, Asti pernah melihat bapak. Di mana ya?” kupanggil Izrail dengan sebutan bapak. Bila bukan karena keluguanku, tak mungkin aku bisa seberani itu. Izrail, bapak Izrail lebih tepatnya, mendekat, ia ingin memelukku. “Asti tak tahu siapa aku?” tanya bapak Izrail.
Aku diam. Kupegang sayapnya, dan kedua mataku tak lekang memandang lekuk wajahnya. “Sepertinya Asti kenal. Sebentar ya, coba Asti pikir-pikir dulu.”
Ah, bisa kau rasakan bukan? Bagaimana aku berkominukasi dengan malaikat Tuhan tanpa adanya canggung, sedikitpun. Kudekatkan wajahku, aku ingin mengingat-ingat, dari mana aku mengenali wajah seperti itu.
“Ya, ya, Asti sekarang ingat.”
Bapak Izrail tersenyum.
“Coba, Asti kenal bapak dari mana?”
“Bapak adalah sosok baik hati yang mama ceritakan ketika Asti lagi sedih.” Kuanggap bapak izrail seperti sosok baik hati yang pernah mama ceritakan.
Benar Izrail baik hati? Emmm… aku sendiri tak bisa memastikan. Namun, ia adalah malaikat penurut. Tuhan memerintahkannya menjadi jagal. Dan tak ada kata protes atas perintah tersebut.
“Mengapa Asti bersedih?” tanya bapak Izrail.
“Waktu itu, Asti nangis, mama melarang Asti bermain tengah malam. Padahal, kalau malam tiba, Asti pengen banget jalan-jalan keluar. Mencari kunang-kunang. Mendengar suara jangkrik di rimbunan ilalang. Dan, Asti suka sekali kalau diajak melintas jalan pemakaman.”
“Mengapa Asti suka lewat di jalan pemakaman. Asti tak takut?”
Bapak Izrail duduk, memangkuku, mengelus rambutku yang lurus.
“Tidak. Mengapa Asti harus takut. Di pemakan itu, banyak sekali kunang-kunang. Oh, ya, melewati pemakaman, Asti sering mencium aroma melati yang harum.” Ya, aku selalu mencium aroma melati yang luar biasa. Harum. Harum sekali. Sejak itu, aku selalu berkeinginan menanam melati di halaman rumah. Kurawat bunga itu. Menyiraminya tiap hari, berarti pula menyirami jiwaku. Aku teduh. Seperti ada daya ikat, antara aku, dengannya: melati putih yang cantik.
Bapak Izrail menemaniku hingga larut. Ia pulang ke agkasa sewaktu handel pintu kamarku ada yang menekan. Mama masuk. Tak ada tujuan lain, kecuali hanya mengelus keningku. Mama memang selalu begitu. Tengah malam datang, masuk, duduk, lantas mengelus keningku yang basah keringat.
“Loh, bapak mau ke mana?” tanyaku sedikit kecewa melihat ia hendak pergi.
“Bapak jangan pergi!”
Bapak Izrail tak peduli. Tubuhnya menegak, dan kedua sayapnya yang lebar siap dikepakkan.
“Bapak mau pulang, Asti!” ucapnya seraya diciumnya kedua pipiku. Hoy, bagaimana perasaanmu? Kumohon jangan iri hati! Gadis usia tujuh tahun sudah mendapat sebuah ciuman istimewa, dari makhluk mulia bernama Izrail.
Bapak Izrail pergi, tanpa memberitahuku siapa dia sebenarnya. Namun, aku tak membual, dia memang Izrail. Bisa kupastikan itu di kemudian hari.
***
Bila kalian mengatakan aku perempuan malam, maka aku tak akan mengelak panggilanmu itu. Ya, aku memang perempuan malam. Ingat, perempuan malam! Jangan mengubahnya menjadi ‘malang’! Sebab tentu berbeda artinya.
Perlu kau tahu, hatiku selalu riang menyambut malam. Boleh kubilang, aku gundah bila pagi datang. Aku tak suka dengan pagi, siang, petang. Aku hanya mencintai satu masa: malam. Pernah kumohonkan sebuah do’a kehadiran Tuhan, “wahai Tuhanku yang penyayang. Tuhan tahukan, kalau Asti tak suka bila pagi datang? Pagi itu selalu mengusir malam. Ia jahat, Tuhan! Padahal Asti kan mencintai malam. Mencintai kunang-kunang. Mencintai aroma melati pemakaman….
Maka aku mohon, Tuhan hilangkan saja pagi, dan rubahlah bumi ini menjadi dunia malam!”
Konyol. Tuhan mana yang sudi membuang matahariNya. Bisa dibayangkan, puluhan penduduk akan mengadakan sebuah ritual besar-besaran. Berkumpul di atas sebuah lapangan, lantas memanjatkan, “Tuhan, panen kami gagal. Anak-istri kami tak ganti baju satu minggu. Tak ada sinar matahari yang mengeringkan cucian kami. Tuhan, turunkan matahrimu, biar kami tak selalu diserang nyamuk!”
Malam, bapak Izrail, dan angka tiga, angka sembilan, adalah satu pasukan yang tak pernah lari dari kehidupanku. Aku yakin, kau sudah mengerti bagaimana hubunganku dengan bapak Izrail, dengan malam. Pahamkan, bagaimana keakrabanku dengan malam, dengan kunang-kunang, dengan aroma melati, dengan area pemakaman?
Maka akan kucoba mengenalkanmu dengan angka tiga, angka sembilan. Yang sepertihalnya penuturan kakek terhadap almarhum papa, kedua angka tersebut adalah angka keramat. “Ini angka keramat. Tiga adalah ganjil. Sembilan itu ganjil pula.” Begitu kakek berkata.
Tapi, aku tak pernah mempermasalahkan. Aku lahir tanggal tiga, pada bulan ke sembilan kalender hijriyah. Mari kita hitung, apakah bulan kesembilan kalender kaum islam tersebut? Ya, Ramadlan. Tanggal tiga, bulan Ramadlan. Tak ada yang aneh, kan? Namun, kakek selaku sosok agamis, senantiasa mengingatkan kepada orang tuaku, “jaga anakmu ini! Manjakan dia!” Ah, kakek, semestinya tak usah kau berkata begitu. Biar mama memperbolehkanku bermain di area pemakaman. Biar aku tak dianak emaskan seperti ini!
Barulah ketika bulan suci, bulan di mana banyak bocah meletuskan petasan tengah malam, aku mulai percaya dengan kekeramatan angka tiga, angka sembilan.
Inilah pertemuanku yang kali kedua. Dengan siapa? Bisa kau tebak, kan? Izrail, ya, bapak Izrail hadir lagi. Aku terlelap, tengah malam. Kamar yang gerah. Tubuhku berkeringat. Namun, kurasakan seluruh tirai menari-nari, gantungan langit kamarku bergoyang, ya, angin menderu sewaktu bapak Izrail muncul. Duduk, membuka selimutku, dan bangunlah aku terkagetkan.
“Huh, huh, huh, siapa  kamu?” nafasku tersenggal. Pertanyaanku itu membuat kedua bibir bapak Izrail tersenyum.
“Siapa kamu?”
Ia menatapku. Perlahan tubuhku ia tegakkan.
“Siapa kamu?”
“Sudah besar, ya kamu, Asti?!” ucapnya. Ramah!
“Sebentar! Kamu bapak yang, yang, yang….”
“Ya, akulah sosok yang enam tahun lalu hadir menemuimu. Kamu menyebutku sebagai sosok baik hati seperti yang mama kamu ceritakan.” Ah, malam yang bahagia. Kubasuh peluh wajahku, dan kuingat-ingat sebentar. Hari ini seharusnya mama mengucapkan kata selamat kepadaku. Tanggal tiga, bulan sembilan, tak kutemui mama membawakan kue. Namun, untunglah, bapak yang bersayap lebar ini datang.
“Bapak kok datang lagi.”
“Aku ingin bercerita kepadamu, Asti!” ia memelukku. Aroma melati menyeruak. Seperti wewangian area pemakaman.
“Aku ingin menghadiahi kamu sebuah cerita. Mau, kan? Memang kamu sudah besar, dan tak sepantasnya untuk ditimang lagi dengan dongeng. Namun…..” Aku memotong pembicaraannya. Kutanyakan, siapa sebenarnya dia. Ketika itu, sempat kupegang jubah putihnya yang lebar. Serupa kerudung mama. Kerudung yang suka mama kenakan sewaktu shalat malam.
Namun, ia tak mau lagi melanjutkan omongnya. Mungkin pertanyaanku terlalu menyinggung? Atau, bahkan tak pantas? Tapi, aku harus bertanya. Bukankah pada pertemuan di mana aku masih berusia tujuh tahun yang lalu ia tak memberitahuku siapa namanya.
“Bapak, kok, diam. Asti salah, ya?”
“Tidak-tidak. Baiklah, akan bapak jawab, siapa bapak sebenarnya.” Ia mencari posisi. Melihat cara bergeraknya, bisa kupastikan ia kurang tenang dengan suasana sempit seperti ini.
“Bapak adalah Izrail. Tentunya kau tahu siapa itu Izrail. Dan tak usah kaget! Izrail tak sekejam yang manusia bayangkan!” Bila kau menyentuh dadaku ketika itu, mungkin bisa kau rasakan bagaimana jantungku berdetak keras. Aku kaget. Dan siapa yang tak kaget mendengar, lebih-lebih melihat sosok Izrail selaku pencabut nyawa ada di depannya. Ah, sulit dipercaya. Tapi, aku bukan perempuan yang suka menangis, suka terharu, dan bukan pula perempuan lembut seperti yang kau bayangkan. Akulah perempuan perkasa. Paling perkasa, bahkan.
“Bapak malaikat Tuhan? Aku kenal siapa itu Izrail. Dalam buku agamaku, ia tertulis sebagai malaikat pencabut nyawa.”
“Bagus bila Asti tahu!”
“Lantas apa maksud bapak datang menjengukku. Bapak mau membunuhku?”
“Tidak-tidak. Bapak tak mau membunuh. Bapak hanya ingin bercerita kepada Asti.”
Aih! Percayalah apa yang aku ceritakan. Izrail hendak bercerita, kepadaku. Ya, bercerita, bukan mencabut nyawa.
“Asti gembira, kan? Bila Tuhan Yang Maha Kuasa memasukkan Asti ke surga?”
“Tentu…”
“Baik, dengarlah! Ini adalah cerita tentang gemerlap kehidupan surga……”
“Surga?” Aku masih tak percaya. Lantas diceritakanlah tentang kegembiraan seorang hamba ketika Tuhan memasukkannya ke surga. Bapak Izrail bilang, “di surga, selain Asti bisa berenang, Asti juga bisa menikmati kunang-kunang. Dan bila Asti membenci suasana pagi, Asti bisa meminta Tuhan untuk mengubah hari menjadi malam.” Wah, indah bukan? Tapi, lagi-lagi bapak Izrail pergi. Mama datang. Ah, mama, mengapa kau selalu mengusir kedatangan bapak Izrail. Ia membawa lilin, dan itulah kue istimewa buatku.
***
Ada satu bagian penting yang ingin aku ceritakan mengenai bapak izrail. Pada bagian inilah, aku membenci malaikat Tuhan yang bernama Izrail. Ya, aku membenci Izrail. Sekaligus, pada bagian inilah kebenaran ucapan kakek tentang angka tiga, angka sembilan sebagai angka keramat terbukti.
Tanggal tiga, bulan sembilan, ia datang lagi. Ah, apa artinya bulan suci bagi Izrail? Kenapa kedatangannya selalu di bulan Ramadlan? Kadang aku juga bingung, mengapa Tuhan melahirkanku di tanggal dan bulan itu? Mengapa tak kau lahirkan aku sewaktu lebaran saja. Tuhan, aku membenci Izrail. Ia datang malam-malam. Masih dengan perwakannya yang dulu-dulu. Suka tersenyum, dan membangunkan aku secara halus. Namun, aku membencinya sekarang, Tuhan. Ia menawariku sesuatu yang semua orang takut dengan sesuatu tersebut: mati. Ya, ia datang, di usiaku yang ke sembilan belas. Dan meminta kesudianku untuk dicabut nyawanya. Aku tak mau mati.
Tuhan-Tuhan, singkirkan makhlukmu ini. Di mana mama, kenapa mama tak datang? Aku ingin ada yang menemaniku, aku takut. Tak pernah kulihat kegelapan semacam ini. Aroma melati yang dahsyat, seperti area pemakaman menyeruak. Dan dentingan keras, berkali-kali terdengar di telingaku. Itu kakek, itu.
Yogyakarta, 2 september 2008
(Ketika kematian tak jua pergi dari pikirku)
Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © 2025 New Paraqibma | Designed by Templateism.com