Cerpen Naqib Najah
-dimuat di
Surabaya Post September 2008-
Seperti apa
anggapanmu tentang kematian? Kuharap kau tidak menangis, tak bersedih sewaktu
ada nyawa melayang. Sebab, tanpa kau sadari, air mata tak akan menghidupkan seseorang
dari kematian. Dan Tuhan tak mau membayar tangis dengan pahala.
***
Aku mengenal
Izrail semenjak lilin dengan bentuk angka tujuh ditiup. Kue dipotong. Lantas,
mama, paman, tante, kakak, dan tentunya mbok Yem, meneriakkan nyanyian, “Happy
birthday to you…. Happy birthday to you… Happy birthday to tou…”
Ketika Tuhan
mengizinkanku menginjak umur ke tujuh, ketika itulah Tuhan mengenalkanku dengan
makhluk penakluk nyawa seluruh umat manusia: Izrail. Perkenalan yang singkat,
dan tak akan terlupakan.
Kau tahu,
bagaimana izrail itu sebenarnya? Jangan mengatakan dia adalah sosok yang seram.
Sebelum kau tahu, dan pernah bertatap muka dengannya.
Malam ulang
tahun, di atas dipan, setelah kupejamkan kedua mataku lelap, Tuhan mengutus
Izaril. Merasuk di mimpiku, lantas terjadilah perkenalan itu.
“Asti, bangun!”
“Bangun, Asti!”
“Hay, siapa
kamu?”
“Ayo! Bangun,
Asti” Seorang berperawakan gagah memanggilku, lirih, sayup. Persis cara mbok
Yem membangunkanku.
“Bapak
siapa….?”
Aku masih
seperti gadis kecil. Dalam sebuah film, pernah kulihat gadis kecil didatangi
orang tua berjubah putih. Dan ketika orang tua berjubah putih tersebut duduk di
sampingnya, gadis kecil itu berucap sebagaimana ucapanku itu.
“Sebentar-sebentar,
sepertinya Asti pernah mengenal bapak! Ya, Asti pernah melihat bapak. Di mana
ya?” kupanggil Izrail dengan sebutan bapak. Bila bukan karena keluguanku, tak
mungkin aku bisa seberani itu. Izrail, bapak Izrail lebih tepatnya, mendekat,
ia ingin memelukku. “Asti tak tahu siapa aku?” tanya bapak Izrail.
Aku diam.
Kupegang sayapnya, dan kedua mataku tak lekang memandang lekuk wajahnya.
“Sepertinya Asti kenal. Sebentar ya, coba Asti pikir-pikir dulu.”
Ah, bisa kau
rasakan bukan? Bagaimana aku berkominukasi dengan malaikat Tuhan tanpa adanya
canggung, sedikitpun. Kudekatkan wajahku, aku ingin mengingat-ingat, dari mana
aku mengenali wajah seperti itu.
“Ya, ya, Asti
sekarang ingat.”
Bapak Izrail
tersenyum.
“Coba, Asti
kenal bapak dari mana?”
“Bapak adalah
sosok baik hati yang mama ceritakan ketika Asti lagi sedih.” Kuanggap bapak
izrail seperti sosok baik hati yang pernah mama ceritakan.
Benar Izrail
baik hati? Emmm… aku sendiri tak bisa memastikan. Namun, ia adalah malaikat
penurut. Tuhan memerintahkannya menjadi jagal. Dan tak ada kata protes atas
perintah tersebut.
“Mengapa Asti
bersedih?” tanya bapak Izrail.
“Waktu itu,
Asti nangis, mama melarang Asti bermain tengah malam. Padahal, kalau malam
tiba, Asti pengen banget jalan-jalan keluar. Mencari kunang-kunang.
Mendengar suara jangkrik di rimbunan ilalang. Dan, Asti suka sekali kalau
diajak melintas jalan pemakaman.”
“Mengapa Asti
suka lewat di jalan pemakaman. Asti tak takut?”
Bapak Izrail
duduk, memangkuku, mengelus rambutku yang lurus.
“Tidak. Mengapa
Asti harus takut. Di pemakan itu, banyak sekali kunang-kunang. Oh, ya, melewati
pemakaman, Asti sering mencium aroma melati yang harum.” Ya, aku selalu mencium
aroma melati yang luar biasa. Harum. Harum sekali. Sejak itu, aku selalu
berkeinginan menanam melati di halaman rumah. Kurawat bunga itu. Menyiraminya
tiap hari, berarti pula menyirami jiwaku. Aku teduh. Seperti ada daya ikat,
antara aku, dengannya: melati putih yang cantik.
Bapak Izrail
menemaniku hingga larut. Ia pulang ke agkasa sewaktu handel pintu kamarku ada
yang menekan. Mama masuk. Tak ada tujuan lain, kecuali hanya mengelus keningku.
Mama memang selalu begitu. Tengah malam datang, masuk, duduk, lantas mengelus
keningku yang basah keringat.
“Loh, bapak mau
ke mana?” tanyaku sedikit kecewa melihat ia hendak pergi.
“Bapak jangan
pergi!”
Bapak Izrail
tak peduli. Tubuhnya menegak, dan kedua sayapnya yang lebar siap dikepakkan.
“Bapak mau
pulang, Asti!” ucapnya seraya diciumnya kedua pipiku. Hoy, bagaimana
perasaanmu? Kumohon jangan iri hati! Gadis usia tujuh tahun sudah mendapat
sebuah ciuman istimewa, dari makhluk mulia bernama Izrail.
Bapak Izrail
pergi, tanpa memberitahuku siapa dia sebenarnya. Namun, aku tak membual, dia
memang Izrail. Bisa kupastikan itu di kemudian hari.
***
Bila kalian
mengatakan aku perempuan malam, maka aku tak akan mengelak panggilanmu itu. Ya,
aku memang perempuan malam. Ingat, perempuan malam! Jangan mengubahnya menjadi
‘malang’! Sebab tentu berbeda artinya.
Perlu kau tahu,
hatiku selalu riang menyambut malam. Boleh kubilang, aku gundah bila pagi
datang. Aku tak suka dengan pagi, siang, petang. Aku hanya mencintai satu masa:
malam. Pernah kumohonkan sebuah do’a kehadiran Tuhan, “wahai Tuhanku yang
penyayang. Tuhan tahukan, kalau Asti tak suka bila pagi datang? Pagi itu selalu
mengusir malam. Ia jahat, Tuhan! Padahal Asti kan mencintai malam. Mencintai
kunang-kunang. Mencintai aroma melati pemakaman….
Maka aku mohon,
Tuhan hilangkan saja pagi, dan rubahlah bumi ini menjadi dunia malam!”
Konyol. Tuhan
mana yang sudi membuang matahariNya. Bisa dibayangkan, puluhan penduduk akan
mengadakan sebuah ritual besar-besaran. Berkumpul di atas sebuah lapangan,
lantas memanjatkan, “Tuhan, panen kami gagal. Anak-istri kami tak ganti baju
satu minggu. Tak ada sinar matahari yang mengeringkan cucian kami. Tuhan,
turunkan matahrimu, biar kami tak selalu diserang nyamuk!”
Malam, bapak
Izrail, dan angka tiga, angka sembilan, adalah satu pasukan yang tak pernah
lari dari kehidupanku. Aku yakin, kau sudah mengerti bagaimana hubunganku
dengan bapak Izrail, dengan malam. Pahamkan, bagaimana keakrabanku dengan
malam, dengan kunang-kunang, dengan aroma melati, dengan area pemakaman?
Maka akan
kucoba mengenalkanmu dengan angka tiga, angka sembilan. Yang sepertihalnya
penuturan kakek terhadap almarhum papa, kedua angka tersebut adalah angka
keramat. “Ini angka keramat. Tiga adalah ganjil. Sembilan itu ganjil pula.”
Begitu kakek berkata.
Tapi, aku tak
pernah mempermasalahkan. Aku lahir tanggal tiga, pada bulan ke sembilan
kalender hijriyah. Mari kita hitung, apakah bulan kesembilan kalender kaum
islam tersebut? Ya, Ramadlan. Tanggal tiga, bulan Ramadlan. Tak ada yang aneh,
kan? Namun, kakek selaku sosok agamis, senantiasa mengingatkan kepada orang
tuaku, “jaga anakmu ini! Manjakan dia!” Ah, kakek, semestinya tak usah kau berkata
begitu. Biar mama memperbolehkanku bermain di area pemakaman. Biar aku tak
dianak emaskan seperti ini!
Barulah ketika
bulan suci, bulan di mana banyak bocah meletuskan petasan tengah malam, aku
mulai percaya dengan kekeramatan angka tiga, angka sembilan.
Inilah
pertemuanku yang kali kedua. Dengan siapa? Bisa kau tebak, kan? Izrail, ya,
bapak Izrail hadir lagi. Aku terlelap, tengah malam. Kamar yang gerah. Tubuhku
berkeringat. Namun, kurasakan seluruh tirai menari-nari, gantungan langit
kamarku bergoyang, ya, angin menderu sewaktu bapak Izrail muncul. Duduk,
membuka selimutku, dan bangunlah aku terkagetkan.
“Huh, huh, huh,
siapa kamu?” nafasku tersenggal. Pertanyaanku itu membuat kedua bibir
bapak Izrail tersenyum.
“Siapa kamu?”
Ia menatapku.
Perlahan tubuhku ia tegakkan.
“Siapa kamu?”
“Sudah besar,
ya kamu, Asti?!” ucapnya. Ramah!
“Sebentar! Kamu
bapak yang, yang, yang….”
“Ya, akulah
sosok yang enam tahun lalu hadir menemuimu. Kamu menyebutku sebagai sosok baik
hati seperti yang mama kamu ceritakan.” Ah, malam yang bahagia. Kubasuh peluh
wajahku, dan kuingat-ingat sebentar. Hari ini seharusnya mama mengucapkan kata
selamat kepadaku. Tanggal tiga, bulan sembilan, tak kutemui mama membawakan
kue. Namun, untunglah, bapak yang bersayap lebar ini datang.
“Bapak kok
datang lagi.”
“Aku ingin
bercerita kepadamu, Asti!” ia memelukku. Aroma melati menyeruak. Seperti
wewangian area pemakaman.
“Aku ingin
menghadiahi kamu sebuah cerita. Mau, kan? Memang kamu sudah besar, dan tak
sepantasnya untuk ditimang lagi dengan dongeng. Namun…..” Aku memotong
pembicaraannya. Kutanyakan, siapa sebenarnya dia. Ketika itu, sempat kupegang
jubah putihnya yang lebar. Serupa kerudung mama. Kerudung yang suka mama
kenakan sewaktu shalat malam.
Namun, ia tak
mau lagi melanjutkan omongnya. Mungkin pertanyaanku terlalu menyinggung? Atau,
bahkan tak pantas? Tapi, aku harus bertanya. Bukankah pada pertemuan di mana
aku masih berusia tujuh tahun yang lalu ia tak memberitahuku siapa namanya.
“Bapak, kok,
diam. Asti salah, ya?”
“Tidak-tidak.
Baiklah, akan bapak jawab, siapa bapak sebenarnya.” Ia mencari posisi. Melihat
cara bergeraknya, bisa kupastikan ia kurang tenang dengan suasana sempit
seperti ini.
“Bapak adalah
Izrail. Tentunya kau tahu siapa itu Izrail. Dan tak usah kaget! Izrail tak
sekejam yang manusia bayangkan!” Bila kau menyentuh dadaku ketika itu, mungkin
bisa kau rasakan bagaimana jantungku berdetak keras. Aku kaget. Dan siapa yang
tak kaget mendengar, lebih-lebih melihat sosok Izrail selaku pencabut nyawa ada
di depannya. Ah, sulit dipercaya. Tapi, aku bukan perempuan yang suka menangis,
suka terharu, dan bukan pula perempuan lembut seperti yang kau bayangkan.
Akulah perempuan perkasa. Paling perkasa, bahkan.
“Bapak malaikat
Tuhan? Aku kenal siapa itu Izrail. Dalam buku agamaku, ia tertulis sebagai
malaikat pencabut nyawa.”
“Bagus bila
Asti tahu!”
“Lantas apa
maksud bapak datang menjengukku. Bapak mau membunuhku?”
“Tidak-tidak.
Bapak tak mau membunuh. Bapak hanya ingin bercerita kepada Asti.”
Aih! Percayalah apa
yang aku ceritakan. Izrail hendak bercerita, kepadaku. Ya, bercerita, bukan
mencabut nyawa.
“Asti gembira,
kan? Bila Tuhan Yang Maha Kuasa memasukkan Asti ke surga?”
“Tentu…”
“Baik,
dengarlah! Ini adalah cerita tentang gemerlap kehidupan surga……”
“Surga?” Aku
masih tak percaya. Lantas diceritakanlah tentang kegembiraan seorang hamba
ketika Tuhan memasukkannya ke surga. Bapak Izrail bilang, “di surga, selain
Asti bisa berenang, Asti juga bisa menikmati kunang-kunang. Dan bila Asti membenci
suasana pagi, Asti bisa meminta Tuhan untuk mengubah hari menjadi malam.” Wah,
indah bukan? Tapi, lagi-lagi bapak Izrail pergi. Mama datang. Ah, mama, mengapa
kau selalu mengusir kedatangan bapak Izrail. Ia membawa lilin, dan itulah kue
istimewa buatku.
***
Ada satu bagian
penting yang ingin aku ceritakan mengenai bapak izrail. Pada bagian inilah, aku
membenci malaikat Tuhan yang bernama Izrail. Ya, aku membenci Izrail.
Sekaligus, pada bagian inilah kebenaran ucapan kakek tentang angka tiga, angka
sembilan sebagai angka keramat terbukti.
Tanggal tiga,
bulan sembilan, ia datang lagi. Ah, apa artinya bulan suci bagi Izrail? Kenapa
kedatangannya selalu di bulan Ramadlan? Kadang aku juga bingung, mengapa Tuhan
melahirkanku di tanggal dan bulan itu? Mengapa tak kau lahirkan aku sewaktu
lebaran saja. Tuhan, aku membenci Izrail. Ia datang malam-malam. Masih dengan
perwakannya yang dulu-dulu. Suka tersenyum, dan membangunkan aku secara halus.
Namun, aku membencinya sekarang, Tuhan. Ia menawariku sesuatu yang semua orang
takut dengan sesuatu tersebut: mati. Ya, ia datang, di usiaku yang ke sembilan
belas. Dan meminta kesudianku untuk dicabut nyawanya. Aku tak mau mati.
Tuhan-Tuhan,
singkirkan makhlukmu ini. Di mana mama, kenapa mama tak datang? Aku ingin ada
yang menemaniku, aku takut. Tak pernah kulihat kegelapan semacam ini. Aroma
melati yang dahsyat, seperti area pemakaman menyeruak. Dan dentingan keras,
berkali-kali terdengar di telingaku. Itu kakek, itu.
Yogyakarta, 2 september 2008
(Ketika
kematian tak jua pergi dari pikirku)