Saya ingat, saya bukan Kuntowijoyo yang bercerita tentang keterasingan WNI di Storrs, Connecticut, USA. Adaptasi dari kehidupan orang Jawa Asli menuju masyarakat modern Amerika membuat sosok yang diceritakan almarhum Kuntowijoyo itu menemukan banyak catatan hidup. Poin-poin perbedaan yang semula membuat tokoh-tokohnya risih, akhirnya berubah menjadi semacam anekdot, "Owh, begini toh kehidupan orang Amerika."
Saya memang bukan Kuntowijoyo, tapi saya sah menjadi pemeran dalam cerpennya--walau sebatas merasa. Cerpen berjudul, "Pengajian, Pengajian!" yang menjadi salah satu bagian dalam sekumpulan cerpen Impian Amerika, mengerucut pada bentuk adaptasi dari sisi kultur beribadah, dari Jawa ke Amerika.
Saya tidak bermaksud membanding-bandingkan. Tapi potensi manusia memang berbeda-beda. Itu sudah jatah dari Yang Kuasa. Termasuk adalah lebih berpotensi mana antara orang desa dan orang kota untuk berulah menjadi makrifat?
Saya rajin mengamati. Itu kebiasan yang susah dibuang. Sedari dulu. Ketika saya sekarang berstatus orang urban, maka saya gemar mengamati orang-orang kota, lalu membangun satu neraca untuk membandingkannya dengan orang desa. Lalu apa yang terjadi apabila neraca tersebut dengan timbangan kadar sebuah makrifat? Beginilah....
Kita mengenal Islam dengan ragam tingkatannya. Syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Pengelompokan tersebut sangat erat kaitannya dengan ranking. Kita yang masuk di level syariat, kedepannya akan dituntut menjadi tarekat. Dari tarekat akan diperintah menjadi hakikat, hingga masuk di puncaknya, yakni makrifat. Tuhan yang menuntut.
Saya yang lama hidup di desa--dasarnya memang orang desa--cukup memahami kultur agama dan sistem ubudiah mereka. Orang desa yang mempunyai peta kehidupan: sawah (sebagai lahan bertani dan kelanjutan rantai usia), pasar (sarana transaksi sekaligus pamer kekayaan), rumah sendiri (rumah yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi teleskop untuk memperlihatkan kekayaan dari tanah rantau yang sebenarnya masih 'abu-abu'), warung kopi (satu-satunya sarana hiburan untuk ngadem dari beban keluarga--termasuk omelan istri di rumah), akan mempunyai kultur ubudiah yang berbeda dengan orang-orang kota. Dari kultur ubudiah ini, kita akan bisa mengkalsifikasikan potensi manusia dalam tingkah makrifatnya.
Di desa, bentuk larangan untuk tidak boleh melakukan ini-itu, akan sering didengar ketimbang asas pembolehan. Obrolannya tidak usah jauh-jauh. Ini hanya dalam koridor aturan beribadah saja. Tidak sampai pada garis demokrasi lainnya.
Kita yang masih tingal di desa, akan didengarkan larangan, "Jangan salat tanpa memakai kopyah." "Tidak boleh bepergian saat hari jumat." "Pokoknya harus selamatan dulu sebelum merantau. Jangan sampai tidak!" dan kalimat-kalimat lain dengan kandungan kata "jangan" dengan landasan aturan syariat.
Apakah kalimat larangan berarti pertanda buruknya level pemikiran seseorang? Tidak. Mari kompak mengucapkan, Tidak! Saya tidak mengatakan begitu. Hanya saja, segala sesuatu yang kita lihat, bisa kita identifikasi hasilnya.
Kita telah membentuk neraca dalam obrolan ini. Neraca A dihuni oleh orang-orang desa, sedang neraca B diduduki orang-orang kota. Lalu tolak ukurnya adalah siapa yang lebih berpotensi menjadi makrifat, satu level Islam yang bagi masyarakat awam biasa disangkut-pautkan dengan gerakan subtansial, gerakan makna. Ketika orang desa yang terbiasa bermain "jangan", maka saya sangat memahaminya sebagai bentuk kesetiaan terhadap aturan. Bahwa segala sesuatu harus base on regulation. Baik regulasi yang bersifat harus dilaksanakan maupun dalam kadar anjuran saja.
Saya jadi ingat prosesi saat masih sering duduk menemani Bapak saat dzikir di masjid. Era 1997-1999 menjadi masa di mana saya benar-benar menjadi asisten peribadahan Bapak.
Bapak (pada saat itu) masih hangat-hangatnya dengan Islam, seperti sedang berbulan madu, Bapak selalu larut dalam dzikir-dzikir. Di sela-sela saya menemani Bapak, selalu saja kata larangan itu diucap, untuk tidak memasuki warung yang di dalamnya jual minuman keras--walau tidak berniat membeli minumannya, untuk tidak menabung di bank, untuk tidak mendirikan yayasan Yatim Piatu (sebab merujuk hadis nabi yang sangat menghimbau sulitnya bertindak bersih terhadap anak yatim), serta larangan dan anjuran lainnya.
Orang desa memang begitu. Cara mereka untuk memegang sandi-sandi syariat sangatlah kuat. Dari mulai cara berwudlu, salat, hingga ubudiyah lainnya.
Maka ketika saya berada di kota, ajaran-ajaran yang Bapak sampaikan, dengan sendirinya menemukan regenerasinya. Ajaran-ajaran tersebut, akhirnya tergerus oleh kultur-kultur orang kota yang lebih 'makrifat'. Di otak saya, terjadi transisi kultur, dari syariat lalu 'makriat'.
Kemarin hari baru saja saya bertemu dengan teman lama. Saya pikir, dia lebih agamis ketimbang saya. Dan memang demikianlah kenyataannya. Dia terbiasa salat lima waktu tepat setelah adzan dikumandangkan. Teman saya ini, tidak mengenal penundaan. Selalu segera mengemasi kerjaan lalu mengambil wudlu, salat, menjalankan perintah Tuhan dengan sesegera. Maka bagi saya hal demikian menjadi point positif untuk menganggapnya lebih agamis ketimbang saya.
Akan tetapi, sesuatu yang saya sebut 'makrifat' itu datang di tengah-tengah adzan maghrib diperdengarkan. Di sebuah ruang pertemuan, sore itu, di sela-sela kumandang adzan, saya bertanya, "Mas, sudah adzan. Mau selesai apa dilanjutkan?"
Saya terpaksa bertanya seperti itu. Bukan karena menghormati kebiasaan salat tepat waktunya, tapi lebih kepada durasi ngobrol kita yang sudah 1 setengah jam lebih. Saya capek. Tapi perlahan-lahan jawaban itu datang: "Dilanjutkan saja, Qib."
Saya kaget! Lanjutnya, sama seperti salat, menyelesaikan masalah yang mengusik pikiran duniawi juga penting.
Kalau di-copy paste dalam sebuah teks, maka saya akan menerapkan bold pada kalimat tersebut. Kenyataannya, orang-orang kota lebih terbiasa dengan kalimat "Yang penting". Sedang bagi saya kalimat ini sangatlah filosofis. "Yang penting" adalah icon sebuah subtansi. Kalimat yang selalu mewakili esensi sebuah permasalahan.
Ketika kaum-kaum yang sudah mencapai level makrifat (dalam arti sesunguhnya) adalah mereka yang memperjuangkan makna, sedang orang-orang kota adalah individu yang sangat sering mengucapkan kata yang penting maka mengatakan mereka sebagai ahli 'makrifat' sangatlah tepat.
"Tidak salat dulu, Mas?" tanya saya.
"Tidak," jawabnya, masih tegas! "Keputusan terbaik adalah menunda waktu salat. Sebab dengan kita menyelesaikan masalah ini, pikiran akan tenang, salat pun akan tenang."
"Walau menundanya di waktu lain, Mas?"
"Iya!" tegas sekali.
Ketika Bapak dan orang-orang tua lainnya selalu bahagia dengan kenaikan peringkat anak-anaknya, maka Bapak dan orang-orang tua lainnya patutlah bahagia ketika anak-anaknya mulai tinggal di kota. Di sinilah, era regenerasi level keagamaan, dari yang selalu memegang sandi-sandi syariat kini elah menjadi ahli 'makrifat'.
Seperti Sarifudin (salah satu tokoh yang Kuntowijoyo ceritakan) yang menemukan Tuhan justru di tanah New York, tanah yang hampir tidak pernah dikumandangkan adzan, saya pun berharap, Tuhan yang saat ini saya temui di kota adalah subtansi Tuhan yang manusia cari.
Yogyakarta, 03 April 2012
Iringan lagu Resignation by Yesung. Kontras!!!