Apa yang paling kita cari di dunia
ini? Salah satu jawabannya adalah momen. Kita mudah merelakan diri untuk
menunggu berjam-jam demi sebuah momen yang kita harapan. Sean O'Connell, dalam film The Secret Life of Walter Mitty, rela naik ke gunung di Islandia demi mencari momen yang terlihat dari lensa kameranya. Hal serupa tentu
juga dialami fotografer lain.
Para fans Manchester City menunggu 44 tahun untuk melihat momen istimewa berupa pesta juara Premier League
(2011/2012). Valentino Rossi meunggu
momen kembalinya dia ke podium utama selama dua tahun lebih. Tahun 2010,
tepatnya tanggal 10 Oktober, The Doctor memenangi seri Malaysia. Selanjutnya,
ia berada dalam penantian panjang sebelum akhirnya kembali menjuarai balapan di
Assen, Belanda 29 Juni 2013.
Tidak perlu jauh-jauh, Anda pun
mempunyai pengalaman yang sama. Anda menunggu beberapa momen, hingga akhirnya
benar-benar mencicipi apa yang Anda tunggu.
Beberapa tahun yang lalu, saat masih
awal-awal berada di Jogja, momen yang saya tunggu adalah bisa duduk di kursi
kantor penerbitan. Tidak sekadar duduk, melainkan masuk ke dalam bagian tim
penerbit. Awal bereksistensi di Jogja, saya nyari uang lewat koran (nulis
cerpen/resensi atau ngasong koran di lampu merah). Wajar jika saya
berbayang-bayang duduk di kursi penerbit. Pikir saya, orang tua saya akan
bahagia mendengar kabar itu. Setidaknya, anaknya yang tanpa ijazah formal bisa
masuk jajaran tim kreatif industri kreatif.
Ditarik lebih ke belakang lagi, saat ibu saya sakit-sakitan, saya
mempunyai misi pribadi. Saya yang masih dibiayai orang tua (saat itu), berharap
bisa menembus media massa dengan cara menulis cerpen. Itu momen yang saya
tunggu-tunggu kurun 2004-2008. Pikir saya, kalau cerpen saya bisa masuk,
orang-orang sekitar saya--baik teman, orang tua, hingga sanak family--bisa
melihat, bahwa saya yang lepas pendidikan formal, tetap bisa 'berbicara' di
bidang umum.
Setelah menikmati suasana kerja di
bidang penerbitan, momen yang saya nanti-nanti beralih lagi. Saya pengin
menikmati industri media televisi. Pikir saya, demand (bisa juga disebut scop)
media tv jauh lebih luas ketimbang media cetak (dalam bentuk buku). Oleh
karenanya, saya pun menunggu momen bisa duduk di bangku kuliah. Bagi saya ini
adalah batu loncatan.
Di dalam dunia tulis menulis,
setelah saya tidak lagi ngantor di penerbit dengan memilih jadi penulis
freelance, momen yang saya tunggu terpusat pada keinginan saya untuk fokus pada
penulisan buku-buku biografi. Saya pengin membentuk personal branding sebagai
biografer.
Awal tahun 2013, gayung bersambut.
Kesempatan perdana saya jatuh pada penulisan mini biografi seorang profesor di
Jogja yang ingin membukukan pengalamannya selama mengajar di Australia dan
Malaysia. Saya penuh semangat datang ke rumahnya setiap pagi untuk wawancara.
Saya rekam apa yang beliau ceritakan, lalu saya menulisnya. Proses ini terjadi
berulang-ulang hingga membentuk keutuhan sebuah buku. Project ini berlangsung hingga kini—saya berusaha mempertahankannya.
Di hari Waisak ini, ingatan saya
akan momen itu merebak lagi.
Menaruh momen sebagai sebuah harapan
yang kita nanti-nanti, seperti meletakkan satu sisi magnet (positif) dalam hidup ini. Sementara posisi kita saat ini, seperti sisi
magnet lainnya (negatif) yang memang masih dalam taraf berusaha meraih yang
diinginkan. Proses seperti ini, secara tidak langsung membawa kita pada track yang futuristik. Kita sedang
mengarah kepada masa depan, kepada kemajuan.
Menaruh momen di dalam hidup, di
sisi lain, bisa juga menjadi boomerang. Mental yang salah, justru membelokkan
kita sehingga menjauh dari momen itu. Ada orang yang tidak siap untuk menunggu
momen.
Waisak tahun lalu, sms masuk ke hape
saya, "Kapan naskahnya selesai?" Narasumber saya mungkin kadung geram
melihat saya yang menunda-nunda deadline. Momen menulis biografi yang
ditunggu-tunggu, justru meletakkan saya pada masa jet lag. Seperti menunggu momen adzan
Maghrib: rasa lapar yang berlebih, jika disikapi dengan mental yang salah,
justru mengantarkan kita tidak bisa menikmati sajian berbuka.
"Nggak usah buru-buru. Perutnya
bisa munggah (naik)," tutur Ibu saya,
beberapa puluh tahun lalu, saat saya
masih kecil. Perut yang munggah mengakibatkan
saya tidak gagal menikmati berbagai hidangan nikmat yang sudah dijadikan ibu. Padahal,
hidangan itu sudah lama saya tunggu.
"Apa yang saya suka tentang foto adalah
bahwa mereka menangkap momen yang hansya sekali saja, tidak mungkin untuk
mereproduksi," tutur Karl Lagerfeld. Lebih luas, apa yang Anda suka
tentang hidup ini adalah meraih momen yang (kadang) hanya sekali kita dapat. Kesempatan
selalu datang sekali, katanya. Namun lagi-lagi, penantian yang salah
mengantarkan kita kegagalan menikmati kado yang sudah dinanti-nanti.
Yogyakarta, 21 Mei 2014