Apa itu NgayogJakarta?
Masyarakat mengenal Jogja dengan
nama Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Garis bawahi kata Ngayogyakarta, dengan menebalkan huruf Y yang
jatuh setelah G. Nama itu masih berlaku hingga kini. Tidak ada yang berubah.
Akan tetapi….
Di dalam hidup ini, tidak ada
jaminan terhindar dari penyakit bagi siapa pun. Termasuk adalah Yogyakarta.
Dulu, kita mengenal Jogja sebagai kota budaya, kota yang nyaman, kota dengan sistem
perkotanaan yang tidak terlalu padat. Seiring berjalannya waktu, citra tersebut
perlahan-lahan rapuh. Jogja telah terjangkiti penyakit kota megapolitan.
Macet, maraknya pembangunan gedung,
populasi penduduk mulai padat, kini telah menjadi penyakit ganas bagi Yogyakarta.
Pada titik ini, di tengah kemacetan, misalnya, seseorang akan nyeletuk, “Ini
Jogja apa Jakarta?”
Nama Ngayogyakarta Hadiningrat
barangkali akan tetap berlaku selamanya. Namun di tengah fenomena sosial
seperti sekarang, Jogja mengalami transisi nama menjadi NgayogJakarta, dengan
penebalan huruf J setelah G, jadilah Jogja yang sudah berasa Jakarta.
***
Pada
dasarnya, NgayogJakarta adalah project kelompok. Mata kuliah Sosiologi
Komunikasi menghendaki pembuatan esai foto untuk tugas Ujian Akhir Semester.
Sebelumnya,
saya dan teman-teman memilih untuk hunting di panti asuhan penyandang cacat.
Kami ingin mengeksplorasi kegiatan memproduksi emping yang dilakukan anak-anak
berkebutuhan khusus. Akan tetapi, tema seperti ini ternyata juga diambil oleh
kelompok yang lain.
Dalam tugas
esai foto, kita memang mudah terjebak dengan dramatisasi. Kita ingin mengangkat
foto dengan sajian artikel yang dramatis. Wajar jika banyak kepala yang
melayangkan idenya kepada panti-panti asuhan, lembaga pemasyarakatan, tempat
pembuangan akhir, atau hal-hal yang berkaitan dengan seni-budaya. Itu sudah
naluri lahiriyah otak kita. Buktinya, sekali penugasan, berpuluh-puluh orang
mengambil tema yang nyaris sama.
Pikir punya pikir, kami mengubah rencana awal
tersebut. Kami ingin memasukkan poin ‘kegelisahan sosial’ di dalam tugas ini.
Maka lahirlah ide mengangkat tranformasi Jogja yang sudah berasa setengah
Jakarta.
***
Tugas
dengan tema “NgayogJakarta, Ini Jogja Apa Jakarta?” cukup memeras tenaga dan
upaya—ada baiknya kita menekankan pemahaman pada kata upaya.
Di hari
pertama, saya dan seorang teman berangkat ke Dinas Perizinan, Jl. Kenari No. 56,
masih satu lokasi dengan kantor Walikota Yogyakarta. Di tempat ini, kami ingin
menggali data perihal izin pembangunan gedung di wilayah Jogja kota. Seberapa banyak
sih investor yang mendapat izin mendirikan hotel, apartemen, mall?
Selesai dari Dinas Perizinan,
proses pencarian data kami lanjutkan di kantor Polresta Yogyakarta, Jl. Reksobayan No.1. Di lokasi
kedua ini, kami menaruh surat pengajuan wawancara. Namun feedback yang diberikan pihak kepolisian tidak secepat yang saya
bayangkan. Kami harus waiting list,
interview perihal kemacetan baru bisa dilakukan empat hari berikutnya.
Kondisi macet tidak hanya menghiasi
wilayah Jogja kota. Di beberapa titik di daerah Sleman, macet sudah menjadi
pemandangan yang wajar. Semisal di Jl. Monjali, Jl. Gejayan, depan Ambarukmo,
dsb. Oleh karenanya, saya dan tim berlanjut ke lokasi ketiga. Kami menuju
Polres Sleman, Jl. Magelang Km.12.
Kami masih melakukan hal yang sama
seperti sebelumnya. Yakni menyerahkan surat pengajuan wawancara kemacetan. Namun
lagi-lagi harus waiting list.
***
Di hari
itu, kami tidak mendapatkan apa pun. NIat hati ingin mencari data, namun apalah
daya, capek dengan terpaan hujan yang hanya bisa dirasa. Itu risiko. Saya menerimanya,
dan saya bahagia. Inilah behind the scene
NgayogJakarta bagian pertama. Selanjutnya,
masih ada cerita menarik yang bisa dibagi perihal NgaygJakarta. Sebagai
penutup, mari berseru, “Ini Jogja apa Jakarta?” sambil membayangkan betapa
macetnya Jogja, betapa padatnya Jogja, betapa mudahnya investor menjajah Jogja.