Di mana
seharusnya kita mendudukkan diri? Pada tempat di mana kita sedang berpijak saat
ini.
Ke mana
seharusnya kita melangkahkan kaki? Pada wilayah di mana kita sedang
ditempatkan.
Kepada
siapa kita harus memeluk? Kepada diri sendiri yang lebih mampu menenangkan
keresahan.
Saya
termasuk golongan orang yang mudah lari. Saya juga termasuk individu yang mudah
mencerca diri sendiri. Kita memulainya dari kata ‘lari’, baru kemudian kita
bahas soal kebiasaan mencerca diri sendiri.
Kebiasaan
lari berarti kondisi di mana saya tidak bisa berhenti dalam satu tempat. Sangat
susah mengajak jiwa dan pikiran saya duduk tenang, sekadar untuk menikmati
momen yang sedang dijalani, atau meninggalkan ambisi-ambisi yang
kadang—justru—tidak jelas arah dan tujuannya.
Di dalam
kehidupan sehari-hari, saya membiarkan diri saya capek terombang-ambing antara
dua kutub. Kutub pertama adalah masa depan, kutub kedua adalah masa lalu. Di
antara dua kutub ini, sebenarnya ada present, atau masa sekarang. Namun
sayangnya saya tidak bisa singgah di dalamnya. Saya justru hilir mudik dari
masa lalu menuju masa depan, atau sebaliknya.
Hilir mudik
ini bisa saja menghasilkan bayangan masa lalu yang kurang menyenangkan, atau
bayangan masa depan yang kadang cukup menakutkan. Dua-duanya berakhir dengan
ketidak-terimaan: saya tidak terima dengan masa lalu saya, begitu pun, saya
tidak terima dengan nikmat saat ini dengan selalu memforsir diri saya supaya
mampu mencapai ilustrasi masa depan yang saya inginkan.
Apakah
tidak capek? Apakah kondisi seperti ini baik untuk psikis? Nanti akan datang
jawabannya.
Karena
kebiasaan mondar-mandir dari kutub masa lalu menuju kutub masa depan, lahirlah
sifat saya yang sama sekali kurang bisa mencintai diri sendiri. Ada pun ketika
saya melontarkan kalimat yang bernada pembanggan diri, sebenarnya itu hanya
pelarian saja. Pembanggaan diri tidak seimbang dengan durasi mencerca diri yang
memakan waktu cukup lama dalam hidup saya—karena berbagai faktor ini juga, saya
susah berkata, “Saya suka menulis” padahal aktivitas utama saya adalah menulis.
Di dalam
agama, saya mengenal prinsip Kun Haitsu Aqomakallah. Tempatkan diri Anda di
wilayah di mana Anda diposisikan oleh Tuhan. Prinsip ini cukup mendasar. Jika
ingin bahagia, menerima, dan menjalani hidup dengan mudah, tempatkan diri
sesuai waktu, wilayah, serta keadaan yang Tuhan berikan.
Sesederhana
apa pun prinsip Kun Haitsu Aqomakallah, ternyata tidak mudah untuk saya jalani.
Selalu ada alasan untuk lari dari waktu, wilayah, serta keadaan yang sebenarnya
di situlah Tuhan sedang menempatkan diri saya.
Cerita
tentang diri saya yang begitu hobi mengunjungi masa lalu dan ‘mudah’ terganggu
dengan masa depan mengingatkan saya dengan apa yang dituturkan Ajahn Brahm. Ia
bercerita tentang orang Australia dan taman-tamannya. Ketika taman diposisikan
sebagai sarana untuk menghibur diri, ternyata tidak semua orang memfungsikannya
seperti itu.
Dalam
beberapa hal, pemilik taman justru menjadi pekerja yang dibikin capek oleh
tamannya. Alasannya cukup mendasar, sebab ketika duduk di taman, mereka tidak
menikmati isi dari taman itu (tidak bisa menikmati present), melainkan menggali
kelemahan tamannya, mengingat betapa rusuhnnya taman itu, berpikir bahwa
tamannya kurang menarik untuk tiga tahun ke depan dan harus segera direnovasi.
Duduk di
wilayah present memang sangat sulit. Menempatkan jiwa dan pikiran kita pada
zona “saat ini” sangat tidak mudah. Sebaliknya, sangat mudah diri kita
terombang-ambing antara masa lalu (past) dan masa depan (future).
Mengenal
Napas, Mengenal Diri Sendiri, Mencintai “Saat Ini”
Napas
datang… Anda begitu dekat. Ada kelembutan, keintiman yang ingin Anda bagi
dengan nafas. Anda ingin berbagi waktu dengan napas. Bila Anda tidak dapat
menemukan napas, Anda tidak marah, seperti halnya ketika Anda tidak dapat
menemukan orang yang Anda cintai. -Master Guo Jun-
Saya
mengikuti kelas meditasi di Wihara Buddha Prabha Jumat, 29 November kemarin.
Setiap Jumat petang pukul 18.30 WIB, wihara ini selalu menyediakan latihan
meditasi. Tidak banyak yang ikut. Namun cukup kondusif untuk mengenal lebih
dalam tentang meditasi.
Sepanjang
pengarahan, dua hal yang selalu ditekankan adalah: kita adalah individu yang
mudah terombang-ambing antara dua kutub (masa lalu dan masa depan, seperti yang
saya ceritakan tadi), dan kita adalah individu yang susah menikmati moment
“saat ini”.
Mengajak
pikiran untuk sekadar fokus pada masa di mana kita sedang berdiri saat ini
(present), tidak semudah membalikkan telapak tangan. Halangannya
bermacam-macam, bisa karena terbiasa menjadi manusia obsesif, bisa juga karena
anggapan bahwa diam adalah pasif.
Padahal,
dengan menikmati present, seseorang berpotensi merasakan banyak sensasi di
sekelilingnya. Salah satunya adalah napas.
Di dalam
meditasi, napas dianalogikan sebagai teman yang paling dekat. Jika susah
melakukan fokus, ingatlah napas. Jika tidak bisa menemukan kebahagiaan,
ingatlah napas. Ia datang begitu dekat dalam hidup kita. Ia menjadi kunci
perjalanan hidup ini: ia memberi, namun begitu mudahnya kita abaikan.
Kutipan
panjang yang berada tepat di bawah sub judul di atas saya ambil dari Master Guo
Jun. Ia penganut ajaran Buddha yang menyelesaikan gelar diploma di bidang
bioteknologi dari Ngee Ann Polytechnic, Singapura, begitu pun, ia pernah
mendapatkan gelar di bidang Buddhist philosophy dari Fu Yan Buddhist Institute,
Taiwan.
Ajaran
mencintai napas sebenarnya adalah sebuah analogi. Napas adalah diri kita, napas
adalah kita, napas adalah sahabat yang paling dekat. Analogi ini berlanjut
dengan ajaran untuk mencintai diri sendiri. Ajaran untuk tidak bergantung pada
orang lain. Ajaran untuk fokus dan menikmati sensasi saat ini.
Saya
mendadak sering mengingat napas (yang saya tarik secara dalam-dalam) di saat
pikiran saya mencoba terombang-ambing antara masa lalu dan masa depan.
Di saat
saya menggantungkan kebahagiaan saya kepada orang lain (seperti, saya bahagia
ketika dekat dengan si A, dan bersedih ketika tidak melihat dia di depan mata
saya), di saat itu juga saya mencoba lebih dekat dengan napas saya. Sambil
menarik napas dalam-dalam, saya bertanya kepada diri sendiri, “Adakah yang
lebih mengerti dirimu selain kamu? Adakah yang lebih bisa membawamu naik
kecuali hanya dirimu?” maka kenapa saya masih memelihara hal-hal yang bersifat
candu. Susah! Namun napas perlahan-lahan mengajari saya arti kepercayaan dan
cinta terhadap diri sendiri.
Karena mencoba
dekat dengan napas, saya akhirnya berpikir:
Pernahkah
saya berucap untuk diri saya, “Pintu hatiku terbuka untukmu, apa pun yang kamu
lakukan.[1]” Kalimat ini mudah kita ucapkan kepada orang lain. Namun begitu
susahnya kita mengucapkannya kepada diri sendiri.
Sebagai
penutup, yang perlu saya mengerti adalah, tiga periode hidup yang saya kenal
(past, present, dan future), adalah proses hidup yang saling berkaitan.
Menyongsong masa depan tetap sebuah prioritas. Namun hal tersebut sulit
dijalani jika tanpa adanya perdamaian antara diri kita denga masa lalu dan masa
kini. Sebagaimana nasihat Ajahn Brahm, “Jika Anda punya nyali untuk mengatakan
kata-kata itu (perihal pemaafan terhadap diri sendiri), maka Anda akan
menyongsong ke depan, bukannya mundur, untuk menemukan cinta kasih yang luhur.”
Maka ketika
ditanya, “Apa periode terbaik hidup ini? Siapa yang patut kita kasihi?”
Jawabannya adalah “saat ini” dan diri kita sendiri.
Yogyakarta,
4 Desember 2013
Perpuskota
Yogyakarta
_____________
[1] Kalimat
yang juga terdapat dalam salah satu cerita Ajahn Brahm dalam buku Si Cacing dan
Kotoran Kesayangannya