Rabu, 04 Desember 2013

Dari Guo Jun, Ajahn Brahm Hingga Ajaran Mencintai Diri Sendiri

Share & Comment
Di mana seharusnya kita mendudukkan diri? Pada tempat di mana kita sedang berpijak saat ini.

Ke mana seharusnya kita melangkahkan kaki? Pada wilayah di mana kita sedang ditempatkan.
Kepada siapa kita harus memeluk? Kepada diri sendiri yang lebih mampu menenangkan keresahan.
Saya termasuk golongan orang yang mudah lari. Saya juga termasuk individu yang mudah mencerca diri sendiri. Kita memulainya dari kata ‘lari’, baru kemudian kita bahas soal kebiasaan mencerca diri sendiri.
Kebiasaan lari berarti kondisi di mana saya tidak bisa berhenti dalam satu tempat. Sangat susah mengajak jiwa dan pikiran saya duduk tenang, sekadar untuk menikmati momen yang sedang dijalani, atau meninggalkan ambisi-ambisi yang kadang—justru—tidak jelas arah dan tujuannya.
Di dalam kehidupan sehari-hari, saya membiarkan diri saya capek terombang-ambing antara dua kutub. Kutub pertama adalah masa depan, kutub kedua adalah masa lalu. Di antara dua kutub ini, sebenarnya ada present, atau masa sekarang. Namun sayangnya saya tidak bisa singgah di dalamnya. Saya justru hilir mudik dari masa lalu menuju masa depan, atau sebaliknya.
Hilir mudik ini bisa saja menghasilkan bayangan masa lalu yang kurang menyenangkan, atau bayangan masa depan yang kadang cukup menakutkan. Dua-duanya berakhir dengan ketidak-terimaan: saya tidak terima dengan masa lalu saya, begitu pun, saya tidak terima dengan nikmat saat ini dengan selalu memforsir diri saya supaya mampu mencapai ilustrasi masa depan yang saya inginkan.
Apakah tidak capek? Apakah kondisi seperti ini baik untuk psikis? Nanti akan datang jawabannya.
Karena kebiasaan mondar-mandir dari kutub masa lalu menuju kutub masa depan, lahirlah sifat saya yang sama sekali kurang bisa mencintai diri sendiri. Ada pun ketika saya melontarkan kalimat yang bernada pembanggan diri, sebenarnya itu hanya pelarian saja. Pembanggaan diri tidak seimbang dengan durasi mencerca diri yang memakan waktu cukup lama dalam hidup saya—karena berbagai faktor ini juga, saya susah berkata, “Saya suka menulis” padahal aktivitas utama saya adalah menulis.
Di dalam agama, saya mengenal prinsip Kun Haitsu Aqomakallah. Tempatkan diri Anda di wilayah di mana Anda diposisikan oleh Tuhan. Prinsip ini cukup mendasar. Jika ingin bahagia, menerima, dan menjalani hidup dengan mudah, tempatkan diri sesuai waktu, wilayah, serta keadaan yang Tuhan berikan.
Sesederhana apa pun prinsip Kun Haitsu Aqomakallah, ternyata tidak mudah untuk saya jalani. Selalu ada alasan untuk lari dari waktu, wilayah, serta keadaan yang sebenarnya di situlah Tuhan sedang menempatkan diri saya.
Cerita tentang diri saya yang begitu hobi mengunjungi masa lalu dan ‘mudah’ terganggu dengan masa depan mengingatkan saya dengan apa yang dituturkan Ajahn Brahm. Ia bercerita tentang orang Australia dan taman-tamannya. Ketika taman diposisikan sebagai sarana untuk menghibur diri, ternyata tidak semua orang memfungsikannya seperti itu.
Dalam beberapa hal, pemilik taman justru menjadi pekerja yang dibikin capek oleh tamannya. Alasannya cukup mendasar, sebab ketika duduk di taman, mereka tidak menikmati isi dari taman itu (tidak bisa menikmati present), melainkan menggali kelemahan tamannya, mengingat betapa rusuhnnya taman itu, berpikir bahwa tamannya kurang menarik untuk tiga tahun ke depan dan harus segera direnovasi.
Duduk di wilayah present memang sangat sulit. Menempatkan jiwa dan pikiran kita pada zona “saat ini” sangat tidak mudah. Sebaliknya, sangat mudah diri kita terombang-ambing antara masa lalu (past) dan masa depan (future).
Mengenal Napas, Mengenal Diri Sendiri, Mencintai “Saat Ini”
Napas datang… Anda begitu dekat. Ada kelembutan, keintiman yang ingin Anda bagi dengan nafas. Anda ingin berbagi waktu dengan napas. Bila Anda tidak dapat menemukan napas, Anda tidak marah, seperti halnya ketika Anda tidak dapat menemukan orang yang Anda cintai. -Master Guo Jun-
Saya mengikuti kelas meditasi di Wihara Buddha Prabha Jumat, 29 November kemarin. Setiap Jumat petang pukul 18.30 WIB, wihara ini selalu menyediakan latihan meditasi. Tidak banyak yang ikut. Namun cukup kondusif untuk mengenal lebih dalam tentang meditasi.
Sepanjang pengarahan, dua hal yang selalu ditekankan adalah: kita adalah individu yang mudah terombang-ambing antara dua kutub (masa lalu dan masa depan, seperti yang saya ceritakan tadi), dan kita adalah individu yang susah menikmati moment “saat ini”.
Mengajak pikiran untuk sekadar fokus pada masa di mana kita sedang berdiri saat ini (present), tidak semudah membalikkan telapak tangan. Halangannya bermacam-macam, bisa karena terbiasa menjadi manusia obsesif, bisa juga karena anggapan bahwa diam adalah pasif.
Padahal, dengan menikmati present, seseorang berpotensi merasakan banyak sensasi di sekelilingnya. Salah satunya adalah napas.
Di dalam meditasi, napas dianalogikan sebagai teman yang paling dekat. Jika susah melakukan fokus, ingatlah napas. Jika tidak bisa menemukan kebahagiaan, ingatlah napas. Ia datang begitu dekat dalam hidup kita. Ia menjadi kunci perjalanan hidup ini: ia memberi, namun begitu mudahnya kita abaikan.
Kutipan panjang yang berada tepat di bawah sub judul di atas saya ambil dari Master Guo Jun. Ia penganut ajaran Buddha yang menyelesaikan gelar diploma di bidang bioteknologi dari Ngee Ann Polytechnic, Singapura, begitu pun, ia pernah mendapatkan gelar di bidang Buddhist philosophy dari Fu Yan Buddhist Institute, Taiwan.
Ajaran mencintai napas sebenarnya adalah sebuah analogi. Napas adalah diri kita, napas adalah kita, napas adalah sahabat yang paling dekat. Analogi ini berlanjut dengan ajaran untuk mencintai diri sendiri. Ajaran untuk tidak bergantung pada orang lain. Ajaran untuk fokus dan menikmati sensasi saat ini.
Saya mendadak sering mengingat napas (yang saya tarik secara dalam-dalam) di saat pikiran saya mencoba terombang-ambing antara masa lalu dan masa depan.
Di saat saya menggantungkan kebahagiaan saya kepada orang lain (seperti, saya bahagia ketika dekat dengan si A, dan bersedih ketika tidak melihat dia di depan mata saya), di saat itu juga saya mencoba lebih dekat dengan napas saya. Sambil menarik napas dalam-dalam, saya bertanya kepada diri sendiri, “Adakah yang lebih mengerti dirimu selain kamu? Adakah yang lebih bisa membawamu naik kecuali hanya dirimu?” maka kenapa saya masih memelihara hal-hal yang bersifat candu. Susah! Namun napas perlahan-lahan mengajari saya arti kepercayaan dan cinta terhadap diri sendiri.
Karena mencoba dekat dengan napas, saya akhirnya berpikir:
Pernahkah saya berucap untuk diri saya, “Pintu hatiku terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan.[1]” Kalimat ini mudah kita ucapkan kepada orang lain. Namun begitu susahnya kita mengucapkannya kepada diri sendiri.
Sebagai penutup, yang perlu saya mengerti adalah, tiga periode hidup yang saya kenal (past, present, dan future), adalah proses hidup yang saling berkaitan. Menyongsong masa depan tetap sebuah prioritas. Namun hal tersebut sulit dijalani jika tanpa adanya perdamaian antara diri kita denga masa lalu dan masa kini. Sebagaimana nasihat Ajahn Brahm, “Jika Anda punya nyali untuk mengatakan kata-kata itu (perihal pemaafan terhadap diri sendiri), maka Anda akan menyongsong ke depan, bukannya mundur, untuk menemukan cinta kasih yang luhur.”
Maka ketika ditanya, “Apa periode terbaik hidup ini? Siapa yang patut kita kasihi?” Jawabannya adalah “saat ini” dan diri kita sendiri.
Yogyakarta, 4 Desember 2013
Perpuskota Yogyakarta
_____________  
[1] Kalimat yang juga terdapat dalam salah satu cerita Ajahn Brahm dalam buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
Tags: , , ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © 2025 New Paraqibma | Designed by Templateism.com