Pelajaran
matematika mengajak kita mempertemukan satu bilangan dengan bilangan lainnya. Dari
pertemuan antar bilangan tersebut, lahirlah bilangan-bilangan lain. Lahirlah
hasil. Muncullah data-data yang berkaitan dengan hal-hal detail.
Belajar
menghitung membuat kita tahu, di mana posisi kita saat ini, apa yang bisa kita
manfaatkan, dan sejauh mana langkah yang sudah kita jalani.
Pelajaran
paling sederhana tentang matematika adalah menghitung jumlah keluarga. Dulu,
saat masih kecil, ada kebanggaan tersendiri ketika mempunyai jumlah sanak keluarga lebih banyak ketimbang teman lainnya. Untuk membuktikan itu, saya akan mulai
menghitung jumlah saudara saya, jumlah paman saya, jumlah bibik, dan berapa
banyak sepupu yang saya punya. Hasilnya, sanak famili saya masih kalah
dibanding jumlah sanak famili teman dekat saya.
Itulah
matematika. Karena proses hitung-menghitung tersebut, saya akhirnya tahu, bahwa
saya tidak mempunyai keluarga besar. Begitu pun, matematika juga mengantarkan
saya untuk mengerti, seberapa kuat posisi saya di tengah lingkungan sosial.
Saya terbiasa menghitung jumlah teman yang saya miliki. Saya mulai
menghitung berapa banyak orang yang mengenal saya, pun, seberapa banyak orang
yang saya kenal. Hasilnya, lagi-lagi saya masih kalah dibanding teman dekat
saya.
Joe Girard memang
bukan pakar matematika. Ia tidak mempunyai sejarah layaknya Joh Forbes Nash. Namun justru Girard yang
menyadarkan saya arti pentingnya hitung-menghitung. Dari Girard, lahirlah cerita tentang matematika, kemungkinan, dan berbuat detail akan hidup.
Namanya tercatat
dalam The Guinness Book of World Records sebagai World’s Greatest Salesman. Hidup
yang ia jalani tidak mudah. Ia tidak lulus SMP. Namun ia sangat dipuji dalam
hal pemasaran.
Dalam salah satu bukunya, Girard mengajak kita menghitung lebih
dekat lingkungan sosial yang kita miliki. Dari mulai berapa jumlah orang yang
kita kenal, hingga berapa jumlah teman yang ada di sekeliling hidup kita--dari mulai teman
biasa, teman harian, teman yang hanya ketemu tiap minggu, hingga teman yang
sudah bertahun-tahun tidak pernah ketemu.
Hasil
matematika Girard menunjukkan, setiap orang paling tidak mempunyai 250 orang
yang bersimpati kepadanya. Girard mengukuhkan teori ini setelah melihat data para
pelayat dari Kantor Dinas Pemakaman yang rata-rata berjumlah 250 orang.
Jika
dipikirkan lebih dalam, apa yang dikatakan Girard memang benar. Ini adalah
permainan matematika paling sederhana. Proses menjumlahkan teman, lalu mencari kemungkinan di dalamnya.
Saya mengembalikan ingatan pada masa
kecil. Di saat masih TK, jumlah teman sekelas saya mencapai (kurang lebih) 30
orang. Di saat masuk Sekolah Dasar, jumlah teman sekelas saya semakin banyak, hampir
40-an. Ketika masuk usia dewasa, seperti ketika hidup di komunitas menulis,
KUTUB, teman saya mencapai 20-an.
Itu adalah
teman yang bersifat in group. Bagaimana dengan out group? Tentu bertambah lagi.
Seperti teman diskusi, teman dunia maya, teman ngopi, teman sesama
profesi, dst.
Kenyataannya, tidak semua teman yang kita kenal
mempunyai empati. Namun jumlah 250 seperti yang ia ungkapkan,
adalah nominal yang sangat realistis untuk dicapai.
Matematika ala Joe Girard mengajari betapa dekatnya hidup dengan kemungkinan.
***
Life is a school of probability. Hidup
adalah lahan kemungkinan, tutur Walter Bagehot. Maka sebenarnya setiap langkah
yang kita tapaki adalah proses mengetuk kemungkinan-kemungkinan yang akan kita
raih.
Bagaimana meraih
probabilitas? Pelajaran menghitung menjadi jawabannya. Seperti halnya
menghitung seberapa jauh langkah yang kita tempuh hari ini? Atau, seberapa
banyak lingkungan baru yang kita temui?
Suatu sore,
pelajaran menghitung dan episode menebak probabilitas pernah saya obrolkan
dengan seorang teman. Sebenarnya, konteks obrolan di Taman Kuliner itu lebih ke arah sahabat saya yang mencoba
memberi nasihat kepada saya. Di ujung pembicaraan, ia membuat peta yang berisi
rute perjalanan yang saya tempuh setiap hari. Dari mulai Jl. Monjali, selokan UGM-UNY, hingga area Babarsari.
Begitu pun, ia memetakan lingkungan tempat saya
beraktivitas, hingga apa saja yang ada di dalam lingkungan tersebut. Peta tersebut,
akhirnya membentuk satu refleksi, seberapa dekat jarak antara saya dengan target (goal) yang saya inginkan? Saya menghitungnya, dan tahu persentasenya.
Matematika Joe Girard, peta
probabilitas, dan logika berhitung, menyadarkan saya pentingnya menelaah hidup
sedetail mungkin. Betapa hidup yang dijalani penuh kesadaran, lebih mendekatkan
kita dengan sebuah permainan. Hidup ini adalah permainan. Kita bermain-main di dalamnya. Eksperimen hari ini, adalah pengalaman berharga esok hari.
Lalu, kita
akan menjadi generasi Girardian, makhluk-makhluk yang akan terus menghitung
kemungkinan. Selagi nikmat untuk dijalani, kita lanjutkan saja episode hitung-menghitung ini.
Yogyakarta,
28 November 2013
Kantin UIN
Sunan Kalijaga