Minggu, 10 Mei 2015

Nelayan, Ibu dan Rumah Harapan #I

Share & Comment


Ibuk… anakmu ini bukan nelayan ulung. Ia hanya lelaki yang berpura-pura berani melaut, meski ia tahu, tak begitu pandai kedua tangannya mendayung perahu.
Laut dan nelayan selalu menghantui pikiranku, Ibuk. Laut memang luas, tak mungkin seorang nelayan lusuh menaklukkan semuanya. Ombak siap memilin kapan saja, kataku. Nelayan tidak cukup kuat menahan semua ancaman itu.
Akan tetapi, takdir nelayan memang harus melaut. Seperti halnya kita yang hidup: rintangan yang besar bukan alasan untuk takluk.
Aku nelayan lusuh yang kini menatap luasnya laut. Aku suka dengan ombak, tapi bukan untuk sekedar dilihat. Aku suka keluasan, tapi bukan untuk sekedar dipandang.
Mula-mulanya, aku memang muntah dengan debur ombak. Akan tetapi, ada irama di setiap gejolak yang ia lahirkan. Maka aku mulai suka melaut, meski tidak lagi merasa tenang.     
Ibuk… di tengah laut, nelayan lusuh melihat sabit yang sangat menggoda. “Ini melebihi keindahan bulan sabit ketika dilihat dari dalam rumah,” ucapku. Bulan itu, selalu merayuku untuk maju: lebih dekat… lebih dekat… hingga tidak lagi ada jarak.
Di atas perahu kecil, aku melihat sabit seperti menatap wajahmu yang sayu. Wajah Ibuk memang sayu. Tatapanmu datar, bahkan cenderung sendu. Sabit yang membuatku teringat kehangatan. Sudah lama aku merantau jauh dan lupa bagaimana arti peluk Ibuk. Tapi, takdir nelayan memang begitu: bersiap menjadi keras, dan tidak lagi memikirkan yang sendu.
Malam-malam di tengah laut, perahu kecil mulai bergoyang. Nelayan lusuh terseret kenangan. Terakhir kali aku mengingat kebersamaan adalah ketika menuntunmu berjalan. Tulang tuamu yang sakit membuatmu serupa anak kecil lagi. Berjalan dengan tongkat setiap pagi, sambil mengulum doa-doa, “Tuhan pasti memberi kesembuhan.”
Kita pernah nonton televisi bersama. Aku bersembunyi di balik ketiakmu, sambil menciumi aroma keringat yang masih khas sampai sekarang. Ibuk suka nonton yang sendu-sendu, mungkin karena ini, wajahnya pun selalu terlalu sendu.
Duduk denganmu membuatku hangat. Tanganmu seperti meraba tubuhku, padahal alih-alih mengelus, menggerakkan tangan buat makan saja susah. Hingga akhirnya momen itu tidak lagi aku temui. Di saat itu juga, kehangatan sulit aku temui lagi.
Aku pernah mencoba mencari kehangatan lain. Seorang perempuan dengan mata yang sama sayu, aku ajak mengenal hidupku. Ibuk selalu suka orang-orang pintar dan berpendidikan, dan dia seperti itu. Beberapa hari ia mau mengenal hidupku, sampai kemudian, dia tidak lagi tertarik untuk mendekat. Aku pun gagal mendekat kehangatan.
Di saat yang sama, aku tahu, Buk, hati terkoyak-koyak ketika seorang nelayan gagal dalam memerjuangkan kehangatan. Hidupku jadi penuh gigil. Tubuhku jadi lebih rapuh. Tapi nelayan harus tetap melaut.
Sekembalinya aku di bibir pantai, bayangan perempuan itu tidak lagi tampak. Aku membawa jaket yang lebih tebal supaya tidak mudah menggigil. Bekal minumanku juga jauh lebih banyak, “Aku tidak mau rapuh,” tuturku.
Laut tetap dengan ombak yang sama. Aku mendayung sekuat tenaga. Ada harapan yang lebih besar dari kemarin hari. Aku ingin menemukan laut yang lebih memulangkan aku dengan banyak ikan dan pengalaman. Ya, melaut memang bukan sekadar urusan mencari ikan. Lebih dari itu, nelayan harus mengantungi cerita laut yang menarik untuk dikisahkan ulang.
Sambil mengumpulkan cerita laut, aku masih saja rindu dengan kehangatan. Di mana harus kutemui kehangatan itu, tanyaku. Mula-mula, aku mencarinya lewat mata perempuan. “Itu… ya, perempuan itu yang mungkin memberikanku kehangatan,” kulumku, setengah yakin, ketika melihat perempuan dengan mata sayu. Tapi aku urung mengajaknya mengenal hidupku. Itu bukan tatapan sayu yang bisa memberikan kehangatan seperti Ibuk.
Angin laut yang sulit ditebak, tiba-tiba membukakan kedekatan dengan seseorang. Siapa dia? Sudah tidak asing sebenarnya, tapi tidak begitu dekat juga. Nelayan kali pertama mengenalnya di sebuah pulau. Saat itu, aku anggap dia sebagai perempuan yang riang, rajin tertawa, dan enak diajak ngobrol.
Yakinku saat itu, nelayan yang lusuh pasti bisa dekat dengan perempuan kota seperti dia. Keyakinan yang berujung pada kebenaran. Dia perempuan yang mau mengenal hidupku, menerima, dan memperbaiki jika memang harus diperbaiki.  
Di bawah bulat sabit, perahu kecil kembali tergoyang. Air laut bergejolak malam-malam. Sementara bulan sabit tetap mengajakku bercanda mengingat kehangatan. Cerita-cerita akan terus berlanjut. Tentang laut, nelayan lusuh, dan perempuan pembawa kehangatan. 
Jakarta, 10 Mei 2015
*Berlanjut ke Nelayan, Ibu dan Rumah Harapan #II
Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com