Ibuk… anakmu ini bukan nelayan ulung. Ia hanya lelaki yang berpura-pura
berani melaut, meski ia tahu, tak begitu pandai kedua tangannya mendayung
perahu.
Laut dan nelayan selalu
menghantui pikiranku, Ibuk. Laut memang luas, tak mungkin seorang nelayan lusuh
menaklukkan semuanya. Ombak siap memilin
kapan saja, kataku. Nelayan tidak cukup kuat menahan semua ancaman itu.
Akan tetapi, takdir nelayan
memang harus melaut. Seperti halnya kita yang hidup: rintangan yang besar bukan
alasan untuk takluk.
Aku nelayan lusuh yang kini
menatap luasnya laut. Aku suka dengan ombak, tapi bukan untuk sekedar dilihat.
Aku suka keluasan, tapi bukan untuk sekedar dipandang.
Mula-mulanya, aku memang muntah
dengan debur ombak. Akan tetapi, ada irama di setiap gejolak yang ia lahirkan. Maka
aku mulai suka melaut, meski tidak lagi merasa tenang.
Ibuk… di tengah laut, nelayan lusuh
melihat sabit yang sangat menggoda. “Ini melebihi keindahan bulan sabit ketika
dilihat dari dalam rumah,” ucapku. Bulan itu, selalu merayuku untuk maju: lebih
dekat… lebih dekat… hingga tidak lagi ada jarak.
Di atas perahu kecil, aku
melihat sabit seperti menatap wajahmu yang sayu. Wajah Ibuk memang sayu.
Tatapanmu datar, bahkan cenderung sendu. Sabit yang membuatku teringat
kehangatan. Sudah lama aku merantau jauh dan lupa bagaimana arti peluk Ibuk. Tapi,
takdir nelayan memang begitu: bersiap menjadi keras, dan tidak lagi memikirkan
yang sendu.
Malam-malam di tengah laut, perahu
kecil mulai bergoyang. Nelayan lusuh terseret kenangan. Terakhir kali aku
mengingat kebersamaan adalah ketika menuntunmu berjalan. Tulang tuamu yang
sakit membuatmu serupa anak kecil lagi. Berjalan dengan tongkat setiap pagi,
sambil mengulum doa-doa, “Tuhan pasti memberi kesembuhan.”
Kita pernah nonton televisi
bersama. Aku bersembunyi di balik ketiakmu, sambil menciumi aroma keringat yang
masih khas sampai sekarang. Ibuk suka nonton yang sendu-sendu, mungkin karena
ini, wajahnya pun selalu terlalu sendu.
Duduk denganmu membuatku hangat.
Tanganmu seperti meraba tubuhku, padahal alih-alih mengelus, menggerakkan
tangan buat makan saja susah. Hingga akhirnya momen itu tidak lagi aku temui.
Di saat itu juga, kehangatan sulit aku temui lagi.
Aku pernah mencoba mencari
kehangatan lain. Seorang perempuan dengan mata yang sama sayu, aku ajak
mengenal hidupku. Ibuk selalu suka orang-orang pintar dan berpendidikan, dan
dia seperti itu. Beberapa hari ia mau mengenal hidupku, sampai kemudian, dia
tidak lagi tertarik untuk mendekat. Aku pun gagal mendekat kehangatan.
Di saat yang sama, aku tahu,
Buk, hati terkoyak-koyak ketika seorang nelayan gagal dalam memerjuangkan
kehangatan. Hidupku jadi penuh gigil. Tubuhku jadi lebih rapuh. Tapi nelayan
harus tetap melaut.
Sekembalinya aku di bibir
pantai, bayangan perempuan itu tidak lagi tampak. Aku membawa jaket yang lebih
tebal supaya tidak mudah menggigil. Bekal minumanku juga jauh lebih banyak, “Aku
tidak mau rapuh,” tuturku.
Laut tetap dengan ombak yang
sama. Aku mendayung sekuat tenaga. Ada harapan yang lebih besar dari kemarin
hari. Aku ingin menemukan laut yang lebih memulangkan aku dengan banyak ikan
dan pengalaman. Ya, melaut memang bukan sekadar urusan mencari ikan. Lebih dari
itu, nelayan harus mengantungi cerita laut yang menarik untuk dikisahkan ulang.
Sambil mengumpulkan cerita laut,
aku masih saja rindu dengan kehangatan. Di
mana harus kutemui kehangatan itu, tanyaku. Mula-mula, aku mencarinya lewat
mata perempuan. “Itu… ya, perempuan itu yang mungkin memberikanku kehangatan,”
kulumku, setengah yakin, ketika melihat perempuan dengan mata sayu. Tapi aku
urung mengajaknya mengenal hidupku. Itu bukan tatapan sayu yang bisa memberikan
kehangatan seperti Ibuk.
Angin laut yang sulit ditebak,
tiba-tiba membukakan kedekatan dengan seseorang. Siapa dia? Sudah tidak asing
sebenarnya, tapi tidak begitu dekat juga. Nelayan kali pertama mengenalnya di
sebuah pulau. Saat itu, aku anggap dia sebagai perempuan yang riang, rajin
tertawa, dan enak diajak ngobrol.
Yakinku saat itu, nelayan yang
lusuh pasti bisa dekat dengan perempuan kota seperti dia. Keyakinan yang
berujung pada kebenaran. Dia perempuan yang mau mengenal hidupku, menerima, dan
memperbaiki jika memang harus diperbaiki.
Di bawah bulat sabit, perahu
kecil kembali tergoyang. Air laut bergejolak malam-malam. Sementara bulan sabit
tetap mengajakku bercanda mengingat kehangatan. Cerita-cerita akan terus
berlanjut. Tentang laut, nelayan lusuh, dan perempuan pembawa kehangatan.
Jakarta, 10 Mei 2015
*Berlanjut ke Nelayan, Ibu dan Rumah Harapan #II