Minggu, 30 Desember 2012

Jika Tidak Kuat Lagi, Ya Kuatkanlah!

Share & Comment
Bukan pencapaian yang membuat seseorang bahagia, namun adalah naluri untuk menikmati setiap hal yang sedang dikerjakan. Hal demikian yang tidak dirasakan oleh Clinton Woods.

Tepat pada tanggal 25 Desember 2012 kemarin, media gencar memberitakan statement mantan petinju Inggris ini. Ia yang menjalani 48 kali laga di atas ring dan hanya lima kali mengalami kekalahan, ternyata sedang dirundung kesedihan. Ia terhalang mendung besar, bukan karena mengingat masa-masa kekalahannya. Namun tidak lain karena keputusannya menjadi pelatih tinju pasca pensiun telah menorehkan konsekuensi besar.

Clinton Woods sangat menyukai tinju. Ring segi empat dengan tinggi 1,5 meter menjadi lahan pertaubatan baginya. Tinju mengarahkannya menjadi pemuda yang tidak lagi doyan memicu perkelahian di tengah jalan. Battle satu lawan satu dengan satu orang pengadil dan ribuan penonton jauh lebih menarik daripada adu pukul di atas jalan.

Clinton Woods

Clinton Woods menemukan kebahagiaan tinju, namun periode 8 September 2009 dan seterusnya telah mengubah rasa cintanya menjadi sebuah kebencian. Di tahun itu, ia memutuskan pensiun. Clinton Woord memilih berkarir sebagai pelatih, tapi justru di sinilah ia blunder untuk dunia yang ia cintai sejak muda.

"Saya membencinya. Setiap menitnya," begitu aku Woods mengenai karirnya sebagai pelatih tinju. Ia hanya merasakan kebencian.

Kebencian dan rasa cinta Woods terhadap tinju ibarat jukstaposisi. Ia membenci hari-harinya sebagai pelatih, namun juga tidak bisa mengelak kedekatannya dengan olah raga yang tercatat di Kitab Mahabrata ini. Dua hal yang saling berdekatan.

Menemukan ambivalensi dalam hari-hari kita memang sudah biasa. Seseorang mudah mengatakan benci, namun juga mudah mengungkapkan, “Betapa sulitnya aku lepas dari dunia satu ini.”

Clinton Woods tidak sendirian. Victor Valdes pun merasakan hal yang sama. Berprofesi sebagai kiper sejak usia 10 tahun, diam-diam Valdes memendam kebencian atas statusnya sebagai penjaga gawang. Sebelum ia ditemukan dengan Pep Guardiola, dan insaflah Valdes dari kebenciannya menjadi kiper.

Jika Clinton Woods tersadarkan akan sikap ambivalennya pada 25 Desember, sedangkan Valdes pada tahun 2008 pasca naiknya posisi Pep dari pelatih Barcelona B ke tim utama, saya barulah tahun ini berani blak-blakan mengungkapkan ambivalensi saya terhadap profesi penulis.

Kisah antara saya dan aktivitas menulis, ibarat drama berseri yang mengisahkan majikan yang bersusah payah membuang kucing liarnya dari dalam rumah. Sehari ia membungkus kucingnya di dalam karung—membawanya ke pasar nun jauh di ujung, mengeluarkannya dan membuangnya tanpa bunyi ‘plung’—lalu seminggu kemudian ia datang lagi seolah sangat hapal alamat majikan tanpa perlu bertanya satu kali pun.
Saya berulangkali mencoba lari dunia ini, namun ujung-ujungnya blik lagi menulis.

Sejak 2008 saya hidup dari menulis. Apa pun julukannya terserah Anda: mau mengatakan sebagai freelancer, ghostwriter, editor, kontributor naskah, atau penulis artikel, mari bantu saya menemukannya. Saya juga bingung, namun saya bisa memastikan, saya beli komputer pertama kali (tahun 2009) dari uang naskah, beli motor setelah kerja sebagai editor, melunasi cicilan netbook dari fee bulanan sebagai eksekutor outline penerbit. Keringat-keringat dari tahun 2008 tidak jauh karena dunia tulis-menulis.

Saya yang menulis dalam porsi professional sejak tahun itu, tidak akan mencantumkan kata “menulis” sebagai daftar hobi yang digemari. Jangan pernah menebak seperti itu, atau Anda akan seratus persen salah. Sebab kenyataannya saya tidak suka menulis.

Ambivalensi megajari seseorang untuk berbuat detail akan dirinya sendiri. Sesungguhnya ketika seseorang menemukan kebencian di tengah sebuah ketergantungan, ia sedang menemkan dua hal berbeda namun menyatu dalam sebuah kesatuan, inilah jukstaposisi: menyandingkan dua objek secara berdampingan.

Tinju yang merupakan langkah pembaharuan dari gaya berantem Clinton Woods adalah sisi yang membuatnya menyukai olah raga ini. Sementara kehidupannya sebagai pelatih yang memaksanya memakan waktu lebih lama di banding semasa ia sebagai pemain, merupakan sisi lain yang membuatnya membenci tinju itu sendiri.

Dua sisi tersebut akhirnya bertemu dalam bejana perasaan Clinton Woods. Jukstaposisi memang sebuah kombinasi pertemuan berbagai entitas yang hadir bersamaan dalam satu kesatuan sehingga menciptakan suatu efek tertentu. Khususnya ketika dua elemen secara kontras berhadap-hadapan (Sindo, 9 Juni 2011). Dan efek yang muncul di bejana perasaan Woods sangatlah fatal: ia memutuskan pensiun sebagai pemain, juga pelatih. Woods mengabaikan tinju yang sebenarnya sangat ia cintai.

Jukstaposisi yang menghasilkan ambivalensi membuat saya berbuat detail akan masalah yang saya hadapi. Saya yang kurang begitu menyukai menulis, saya yang terpaksa menjamahnya setiap hari. Jika bukan karena ada titik temu antara dua hal tersebut (benci dan sebuah ketergantungan), sudah pasti saya akan meniru langkah Woods, yakni melepas status ini selamanya.

Jukstaposisi dalam kasus kebencian dan ketergantungan saya terhadap menulis adalah sebagai berikut.

Dalam menulis, ada beberapa proses yang kadang antara satu tahap dengan tahapan lainnya tidak harus mempunyai korelasi yang sama. Pada proses menulis, ada tahapan di mana kita menganalisa (pertama). Tahapan ini terjadi ketika kita gemar melihat apa yang terjadi di sekeliling kita. Setelah itu (kedua), kita akan menyatukan fenomena itu ke dalam satu hal baru, dalam hal ini adalah proses melahirkan ide. Setelah dua tahapan tersebut, tibalah kita pada tahapan selanjutnya (ketiga), yakni eksekusi, atau menuliskannya. Sebagai puncaknya, tahapan berikutnya (keempat) adalah menikmati hasil jerih payah (impact): bisa berupa mendapat pujian, fee, atau lainnya.

Untuk dua tahapan pertama, menganalisa dan mengide, adalah dua aktivitas yang sangat saya gemari. Saya merasa hidup gara-gara dua aktivitas ini. Namun untuk tahapan ketiga, saya ragu-ragu untuk berkata “suka”.

Menulis adalah cara berkarya yang biasa, begitu pikir saya.

Berbeda dengan jukstaposisi Clinton Woods yang tidak menemukan titik temu, maka jukstaposisi antara kecintaan saya untuk menganalisa dan mengide, serta kebencian saya terhadap menulis menemkan titik temunya. Saya tidak jadi melarikan diri dari dunia menulis gara-gara pertanyaan saya: 

“Jika sudah hobi menganalisa dan mengide, lalu ke mana lagi kamu melampiaskan dua hal itu kalau tidak ada skill lain yang bisa dikuasai selain menulis?”

Pertanyaan tersebut mempertemukan jukstaposisi antara beberapa komponen yang suka dan saya benci dari proses menulis. Pertanyaan di atas, sekaligus menjadi jawaban ambivalensi saya. Hingga suatu saat nanti, saya tidak akan belajar meniru Clinton Woods, melainkan berusaha menapaki jejak Valdes yang sengaja memerangi rasa bencinya.

Mungkin hari ini saya mengebiri akivitas menulis saya sebagai komoditas mencari nafkah saja. Namun suatu saat nanti, saya tetap berharap, benar-benar mencintai aktivitas ini sehingga benar-benar bahagia menjalaninya. Sebab saya tahu, sebagaimana Pep Guardiola nasihatkan, dunia ini bukan mencari orang yang hebat, namun adalah mereka yang bahagia di setiap permainannya.[1]

Maka jika kita sudah tidak kuat lagi, ya kuat-kuatkanlah!

Yogyakarta, 30 Desember 2012
With you in the sky




[1] Kutipan Victor Valdes saat menirukan nasihat Pep Guardiola untuk dirinya, “Dia pernah mengatakan tidak hanya butuh pemain hebat, tapi juga pemain yang menyukai dan bergembira dalam bermain. Jika kamu terus seperti ini, kariermu akan habis tanpa bisa menikmati tugas luar biasa.”

Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com