Bukan pencapaian
yang membuat seseorang bahagia, namun adalah naluri untuk menikmati setiap
hal yang sedang dikerjakan. Hal demikian yang tidak dirasakan oleh Clinton Woods.
Tepat pada
tanggal 25 Desember 2012 kemarin, media gencar memberitakan statement mantan petinju Inggris ini. Ia yang menjalani 48 kali laga di atas ring dan hanya lima
kali mengalami kekalahan, ternyata sedang dirundung kesedihan. Ia terhalang
mendung besar, bukan karena mengingat masa-masa kekalahannya. Namun tidak lain
karena keputusannya menjadi pelatih tinju pasca pensiun telah menorehkan
konsekuensi besar.
Clinton Woods
sangat menyukai tinju. Ring segi empat dengan tinggi 1,5 meter menjadi lahan
pertaubatan baginya. Tinju mengarahkannya menjadi pemuda yang tidak lagi doyan
memicu perkelahian di tengah jalan. Battle
satu lawan satu dengan satu orang pengadil dan ribuan penonton jauh lebih
menarik daripada adu pukul di atas jalan.
|
Clinton Woods |
Clinton Woods
menemukan kebahagiaan tinju, namun periode 8 September 2009 dan seterusnya
telah mengubah rasa cintanya menjadi sebuah kebencian. Di tahun itu, ia
memutuskan pensiun. Clinton Woord memilih berkarir sebagai pelatih, tapi justru
di sinilah ia blunder untuk dunia yang ia cintai sejak muda.
"Saya
membencinya. Setiap menitnya," begitu aku Woods mengenai karirnya sebagai
pelatih tinju. Ia hanya merasakan kebencian.
Kebencian dan
rasa cinta Woods terhadap tinju ibarat jukstaposisi. Ia membenci hari-harinya
sebagai pelatih, namun juga tidak bisa mengelak kedekatannya dengan olah raga
yang tercatat di Kitab Mahabrata ini. Dua hal yang saling berdekatan.
Menemukan ambivalensi
dalam hari-hari kita memang sudah biasa. Seseorang mudah mengatakan benci,
namun juga mudah mengungkapkan, “Betapa sulitnya aku lepas dari dunia satu ini.”
Clinton Woods
tidak sendirian. Victor Valdes pun merasakan hal yang sama. Berprofesi sebagai
kiper sejak usia 10 tahun, diam-diam Valdes memendam kebencian atas statusnya
sebagai penjaga gawang. Sebelum ia ditemukan dengan Pep Guardiola, dan insaflah
Valdes dari kebenciannya menjadi kiper.
Jika Clinton
Woods tersadarkan akan sikap ambivalennya pada 25 Desember, sedangkan Valdes pada
tahun 2008 pasca naiknya posisi Pep dari pelatih Barcelona B ke tim utama, saya
barulah tahun ini berani blak-blakan mengungkapkan ambivalensi saya terhadap profesi
penulis.
Kisah antara saya
dan aktivitas menulis, ibarat drama berseri yang mengisahkan majikan yang
bersusah payah membuang kucing liarnya dari dalam rumah. Sehari ia membungkus
kucingnya di dalam karung—membawanya ke pasar nun jauh di ujung,
mengeluarkannya dan membuangnya tanpa bunyi ‘plung’—lalu seminggu kemudian ia datang lagi seolah sangat hapal alamat
majikan tanpa perlu bertanya satu kali pun.
Saya berulangkali mencoba lari dunia ini, namun ujung-ujungnya blik lagi menulis.
Sejak 2008 saya
hidup dari menulis. Apa pun julukannya terserah Anda: mau mengatakan sebagai
freelancer, ghostwriter, editor, kontributor naskah, atau penulis artikel, mari
bantu saya menemukannya. Saya juga bingung, namun saya bisa memastikan, saya
beli komputer pertama kali (tahun 2009) dari uang naskah, beli motor setelah
kerja sebagai editor, melunasi cicilan netbook dari fee bulanan sebagai
eksekutor outline penerbit. Keringat-keringat dari tahun 2008 tidak jauh karena
dunia tulis-menulis.
Saya yang menulis
dalam porsi professional sejak tahun itu, tidak akan mencantumkan kata “menulis”
sebagai daftar hobi yang digemari. Jangan pernah menebak seperti itu, atau
Anda akan seratus persen salah. Sebab kenyataannya saya tidak suka menulis.
Ambivalensi
megajari seseorang untuk berbuat detail akan dirinya sendiri. Sesungguhnya ketika
seseorang menemukan kebencian di tengah sebuah ketergantungan, ia sedang menemkan
dua hal berbeda namun menyatu dalam sebuah kesatuan, inilah jukstaposisi: menyandingkan
dua objek secara berdampingan.
Tinju yang
merupakan langkah pembaharuan dari gaya berantem Clinton Woods adalah sisi yang
membuatnya menyukai olah raga ini. Sementara kehidupannya sebagai pelatih yang
memaksanya memakan waktu lebih lama di banding semasa ia sebagai pemain,
merupakan sisi lain yang membuatnya membenci tinju itu sendiri.
Dua sisi tersebut
akhirnya bertemu dalam bejana perasaan Clinton Woods. Jukstaposisi memang
sebuah kombinasi pertemuan berbagai entitas yang hadir bersamaan dalam satu
kesatuan sehingga menciptakan suatu efek tertentu. Khususnya ketika dua elemen
secara kontras berhadap-hadapan (Sindo, 9 Juni 2011). Dan efek yang muncul di
bejana perasaan Woods sangatlah fatal: ia memutuskan pensiun sebagai pemain,
juga pelatih. Woods mengabaikan tinju yang sebenarnya sangat ia cintai.
Jukstaposisi yang
menghasilkan ambivalensi membuat saya berbuat detail akan masalah yang saya
hadapi. Saya yang kurang begitu menyukai menulis, saya yang terpaksa
menjamahnya setiap hari. Jika bukan karena ada titik temu antara dua hal
tersebut (benci dan sebuah ketergantungan), sudah pasti saya akan meniru
langkah Woods, yakni melepas status ini selamanya.
Jukstaposisi
dalam kasus kebencian dan ketergantungan saya terhadap menulis adalah sebagai
berikut.
Dalam menulis,
ada beberapa proses yang kadang antara satu tahap dengan tahapan lainnya tidak
harus mempunyai korelasi yang sama. Pada proses menulis, ada tahapan di mana
kita menganalisa (pertama). Tahapan ini terjadi ketika kita gemar melihat apa
yang terjadi di sekeliling kita. Setelah itu (kedua), kita akan menyatukan
fenomena itu ke dalam satu hal baru, dalam hal ini adalah proses melahirkan
ide. Setelah dua tahapan tersebut, tibalah kita pada tahapan selanjutnya (ketiga),
yakni eksekusi, atau menuliskannya. Sebagai puncaknya, tahapan berikutnya
(keempat) adalah menikmati hasil jerih payah (impact): bisa berupa mendapat
pujian, fee, atau lainnya.
Untuk dua tahapan
pertama, menganalisa dan mengide, adalah dua aktivitas yang sangat saya gemari.
Saya merasa hidup gara-gara dua aktivitas ini. Namun untuk tahapan ketiga,
saya ragu-ragu untuk berkata “suka”.
Menulis adalah cara berkarya yang biasa, begitu pikir
saya.
Berbeda dengan
jukstaposisi Clinton Woods yang tidak menemukan titik temu, maka jukstaposisi antara
kecintaan saya untuk menganalisa dan mengide, serta kebencian saya terhadap
menulis menemkan titik temunya. Saya tidak jadi melarikan diri dari dunia
menulis gara-gara pertanyaan saya:
“Jika sudah hobi menganalisa dan mengide,
lalu ke mana lagi kamu melampiaskan dua hal itu kalau tidak ada skill lain yang
bisa dikuasai selain menulis?”
Pertanyaan
tersebut mempertemukan jukstaposisi antara beberapa komponen yang suka dan saya
benci dari proses menulis. Pertanyaan di atas, sekaligus menjadi jawaban
ambivalensi saya. Hingga suatu saat nanti, saya tidak akan belajar meniru Clinton
Woods, melainkan berusaha menapaki jejak Valdes yang sengaja memerangi rasa
bencinya.
Mungkin hari ini
saya mengebiri akivitas menulis saya sebagai komoditas mencari nafkah saja. Namun
suatu saat nanti, saya tetap berharap, benar-benar mencintai aktivitas ini
sehingga benar-benar bahagia menjalaninya. Sebab saya tahu, sebagaimana Pep
Guardiola nasihatkan, dunia ini bukan mencari orang yang hebat, namun adalah
mereka yang bahagia di setiap permainannya.
Maka jika kita
sudah tidak kuat lagi, ya kuat-kuatkanlah!
Yogyakarta, 30 Desember 2012
With you in the sky
Kutipan Victor Valdes saat menirukan nasihat Pep Guardiola untuk dirinya, “Dia
pernah mengatakan tidak hanya butuh pemain hebat, tapi juga pemain yang menyukai
dan bergembira dalam bermain. Jika kamu terus seperti ini, kariermu akan habis
tanpa bisa menikmati tugas luar biasa.”