Rabu, 11 April 2012

Tapal Batas Identitas: Kemanakah Kita Berormas

Share & Comment
Ketika bernaung di atas atap dijadikan sebagai identitas, lalu sebutan apa yang pantas kita sematkan untuk orang-orang yang tidak mau menghuni sebuah atap?

Sebab sama-sama mempunyai boneka Angry Bird, perempuan-perempuan muda itu mengelompokkan diri sebagai Angry Bird mania. Mereka yang rata-rata bermuka high class, bergigi pagar menyerupai sisa-sisa gigitan permen, mempunyai jadwal khusus untuk bertemu setiap hari. Bermula dari kesamaan, mereka terkelompokkan.

Seperti terkelompoknya masyarakat kita terhadap sebuah ormas. Mereka mempunyai kesepakatan, yakni, untuk sama-sama meyakini golongannya sebagai pemegang akidah yang benar, lalu terjadilah pembentukan NU dan Muhammadiyah—cukuplah kita sebut dua merk saja, ketika hanya dua organisasi inilah yang sering menjadi the most favorite actor dalam sebuah pagelaran bertajuk, “Perdebatan Agama.”

Kita tidak sedang berbicara history kemunculan organisasi tersebut. Tapi kita sedang membaca, faktor di balik mengelompoknya masyarakat kita.

Kalau bukan karena kesamaan, maka apa lagi alasan yang paling kuat untuk membenarkan kuatnya jalinan fanatisme mereka untuk mendukung organisasinya. Sekecil apa pun bentuk kesamaan itu, termasuk adalah kesamaan tentang sudut pandang.

Bila pecinta Angry Bird membilik berdasarkan kesamaan hobi, maka untuk organisasi semacam NU dan Muhammadiyah—organisasi yang berdiri dengan Alquran sebagai lantainya, Hadist menjadi tiangnya, serta petuah ulama serupa payungnya—tidak terkelompokkan sebab kecintaan pemeluknya terhadap peralatan duniawi. Angry Bird, misalnya. Maka inilah titik positif untuk membedakan masyarakat berkopyah kita yang bernaung di bawah organisasi itu dengan perempuan-perempuan bergigi bahel yang saban minggu selalu bertemu.

Pada akhirnya adalah tatanan. Hukum-hukum yang bersangkut pautan dengan sistem berakidah, yang kemudian berhubungan pula dengan cara menyikapi gerakan salat, orang meninggal, dan aturan-aturan penetapan puasa/lebaran, yang membuat orang-orang tersebut bertahan, untuk tetap mengelompok, sebab kesamaan mereka untuk meyakini tatanan-tanan di atas sebagai kebenaran. Ya, KESAMAAN untuk sama-sama berkayikanan “Inilah jalan yang benar, mari diikuti”.

Saya ingat, di dunia ini ada istilah ilegal. Sebutan kurang enak bagi siapa pun yang tidak masuk dalam sebuah tatanan, aturan apa pun. Ilegal sebab tidak mempunyai paspor, ilegal sebab tidak mempunyai surat izin berkendara, ilegal sebab tidak mampu memperpanjang surat tanda nomor kendaraan, ilegal sebab kuliah di Universitas A tapi tidak mempunyai kartu tanda mahasiswanya, dan masih banyak bentuk ilegal-ilegal lainnya.

Sampai paragraph ini, kita mulai paham, fungsi hukum adalah untuk membentuk sekat-sekat baru, membedakan mana yang tunduk dan mana yang tidak. Legal berarti sah dan tunduk (yang nantinya diganjar dengan kemudahan serta kelancaran birokrasi) sedang ilegal berarti tidak sah dan berontak (dengan efek ganjaran: ditangkap, dipersulit, dijadikan tersangka).

Ketika ilegal dengan segala bentuk ganjarannya telah menjadi istilah di berbagai instansi, seperti ranah kepolisian, pedesaan, hingga kenegaraan, maka apakah kata ilegal ini bisa juga dimasukkan dalam urusan akidah.

Diam-diam saya ingin sekali mensidang teman-teman saya yang apabila ditanya, “Apa akidahmu?” selalu menjawab dengan, “Bukan NU, bukan juga Muhammadiya.”

Maka apabila sudah dijawab seperti itu, kesimpulan saya, “Berarti kamu LDII?” mengingat 3 ormas inilah yang paling famous di kalangan masyarakat. Tapi kesimpulan akhir itu pun masih menemukan kesalahannya. Dengan tenang, teman saya menjawab, “Tidak juga!”

Lalu di saku hatimu, nama ormas apa yang sedang kamu teguhi?

Jawabannya enteng, “Aku hanya mencoba mencari mana yang benar. Tanpa harus memihak kepada ormas mana pun.”

Entengnya jawaban tersebut, ternyata juga menjadi jawaban pribadi saya. Itulah yang saya alami, menjadi orang yang sejauh ini tidak mau dikatakan NU, tapi juga tidak mau dibilang Muhammadiyah. Biarlah saya ini mengindonesia saja.

Baik, kita terima saja jawaban itu. Lalu kita akan bertanya, masih berlakukah dalih bhineka tunggal ika hingga batas berakidah sekalipun?

Berbeda-beda agama-agama dan tetap satu, fine, bisa diterima! Berbeda-beda akidah dan tetap satu, bagus, bisa diterima juga. Akan tetapi wilayah kebebasan itu tidak membenarkan kita menjadi individu yang tidak memihak kepada salah satu akidah.

Sejatinya memang sah-sah saja kita berpolah-tingkah secara individual, tidak mengerucut kepada salah satu ormas. Kita menjadi individu yang apabila ditanya, “Apa akidahmu?” tetap menjawab dengan kekeh, “Aku hanya mengenal Islam. Itu saja!” Hanya saja, lalu apa jawabanmu ketika kalian ditanya, “Bagaimanakah caramu menerapkan dispensasi shalat saat bepergian?”

Maka pada pertanyaan inilah kita (aku dan kalian yang sama-sama mengaku tidak memihak ormas) akan terkena batunya sendiri. Faktanya, penerapan hukum-hukum syariat, baik dalam ubudiyah maupun muamalat masing-masing ormas (akidah) telah menerapkan perbedaannya. Muhammadiyah membuat hukum dispensasi bagi musafir yang tentu berbeda dengan NU, begitu pun dengan ormas lainnya.

Dengan nada santai, kita (aku dan kalian yang sama-sama mengaku tidak memihak ormas) akan menjawab pertanyaan tersebut dengan, “Aku akan memilih mana yang lebih tepat.” Lebih lanjutnya, jawaban tersebut berbuntut dengan: kalau memang dalam hukum dispensasi sholat itu Muhammadiyah lebih benar, maka akan aku pilih, begitu juga sebaliknya. NU menjadi pilihan kalau terbukti ormas ini benar dalam menerapkan hukum syariatnya.

Mari duduk kembali. Jawaban di atas cukup melegakan. Tapi mari berdiri lagi, lalu menanyai diri sendiri, “Seberapa sahkah kita untuk meraba sebuah kebenaran hukum syariat.”

Kebetulan saya pernah mempunyai label santri. Maka saya pun tau, bagaimana rumitnya menerapkan sebuah hukum walau untuk permasalahan dispensasi shalat saja. Kenyataannya sumber kita memang satu, Alquran-Hadist, yang lalu dipecah-pecah menjadi sebentuk hukum lewat transfer ilmu ushul fiqh.
Nah, dalam kaidah ushul fiqh inilah, kita (aku dan kalian yang sama-sama menolak tidak memihak ormas) akan terpukul dengan sendirinya.

Saya pernah menghapal hukum dalam kaidah ushul fiqh tersebut, toh pada akhirnya untuk menjadi fuqoha’ tidak cukup dengan menghapal saja. Terpaksa, dengan sangat polos kita yang mengaku tidak memihak ormas dan lebih memilih sistem random dalam berakidah, bukanlah ahli fikih yang pandai memilah inilah syariat yang tepat dan itulah syariat yang salah. Kita hanya dalam taraf meraba. Sayangnya, dalam ber-ubudiyah yang harus diterapkan bukanlah rabaan belaka, tapi ilmu (secara definitif, ilmu adalah sesuatu yang diraih secara haqqul yakin, tidak rabaan belaka).

Maka hanguslah posisi kita yang ber-random ria dalam berakidah.

Saya menganggap, hukum-hukum syariat yang ada pada sebuah organisasi, sudah membentuk seperti paket. Kita tidak bisa mencomotnya satu persatu. Seprti halnya agama, ketika Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan agama-agama telah dikenal di bumi ini, maka kita tidak bisa beridiri secara personal mencomot ajaran agama A, lalu mengemixnya dengan ajaran agama B. Agama-agama tersebut sudah menjadi paket, semuanya mengkampanyekan, “Agamaku paling benar, menjadi rumusan kumulatif atas agama-agama terdahulu.”—ajaran berbeda dengan ibroh (hikmah). Pada ajaran, kita hanya bisa menerapkan satu agama saja, berbeda degan broh yang bisa kita ambil dari mana-mana.

 Begitulah agama berdiri, seperti juga akidah, semuanya berbentuk paket. Mereka-mereka yang fukoha’ telah menerapkan hukum-hukumnya, dalam ormasnya masing-masing.

Maka ketika mereka yang keluar dari hukum dikatakan ilegal, lantas apakah kita yang tidak berstatus jelas dalam putaran akidah juga menerima sebutan tersebut?

Ketika ilegal berbuntut pada kerumitan birokrasi dan sebuah hukuman, maka apakah ilegal dalam konteks seperti ini pun akan menemukan kesulitannya terhadap sistem kerajaan Tuhan?

Kita bertanya, sembari terus berseru, “orang-orang ilegal akan terus berjalan!”
***
Yogyakarta, 11 April 2012







Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com