Kamis, 16 Februari 2012

Sayur Asem & Mp3 Dangdut Pantura: Kenapa Harus Total Membuang Ampas?

Share & Comment


Semuanya bermula dari kebiasaan. Tapi kalau kita mempertahankannya tanpa melihat situasi, di situlah kejanggalan itu lahir.

Sejam menjelang makan siang, saya mencium parfum wangi luar biasa yang datang dari arah punggung saya. Saya duduk menghadap netbook, dan parfum itu merambat pelan-pelan seperti mengajak saya berkenalan.

Hari ini stand-stand Taman Kuliner yang disewa untuk kantor cabang atau sekretariat bisnis personal, memang tidak banyak yang buka. Saya hanya membaca udara yang gerah, sambil terus melatih hati saya untuk menikmati kicau burung walau sebenarnya hati saya sedang antipati mendengar canda mereka. Dan parfum itu, datang begitu saja... bukan dari perempuan.

Beberapa orang berjalan melewati stand Dunia Tulis, berpakaian klimis, rambut tertata rapi, walau sebenarnya masih perlu dipertanyakan, apakah itu benar-benar minyak rambut yang dipakai atau sekadar air putih saja. Tapi parfum yang beradu dengan aroma asap rokok itu, menarik perhatian saya sebentar.
Saya menoleh. Menghentikan aktivitas menulis naskah yang sudah melebihi deadlinenya. Dan pada aktivitas menoleh 5 menit ini, saya mendapati terapi kejut yang luar biasa.

Rombongan yang lewat di depan Dunia Tulis itu adalah para pekerja di taman ini. Sebagian dari mereka adalah satpam, selebihnya tukang sapu taman. Dan parfum itu datang dari laki-laki yang biasanya selalu membersihkan sisa-sisa daun tepat ketika saya baru datang: dia hanya mempunyai dua baju saat menyapu halaman taman luas ini, hitam tanpa lengan yang membuat bulu ketiaknya kelihatan ketika dia mengangkat sapu terlalu ke atas, dan hijau tua (tanpa lengan juga) dengan bagian lehernya yang sudah tercabik-cabik masa.

Sepertinya hari ini kebetuntungan Anda. Tatanan rambut dan pakaian klimis itu membuat Anda layaknya orang-orang yang akan menerima limpahan rezeki saja. Dan besar kemungkinan demikian. Sekarang tanggal 16 Februari, pertengahan bulan, dua hari lagi saya ulang tahun, tapi bukan ulang tahun ini yang hendak saya bicarakan, melainkan rombongan satpam dan tukang sapu itu yang perlahan-lahan jalan menuju kantor pengelolaan Taman Kuliner. Sangat mungkin, mereka akan menerima gaji tengah bulan.

Lagi-lagi saya mengamati tukang sapu itu, laki-laki dewasa usia—kisaran—27 hingga 30 tahun. Dia hari ini benar-benar berbeda. Memakai kemeja, selonjoran celana yang masih terlihat bekas setrikaannya, rambut yang tertata itu, dan lagi-lagi parfum kelas menengah yang masih juga tertinggal jejaknya walau dalam jarak 100 meter. Transformasi penampilan yang sangat total.

Tukang sapu itu menunjukkan kenaikan kelas. Setiap perabotan yang dia pakai, apabila difoto lalu diupload ke jejaring social, patut mendapatkan dua hingga sepuluh jempol. Saya turut senang, hanya saja, alunan mp3 yang ada di sakunya, yang mendendangkan lagu-lagu dangdut khas pantura, menjadikan semuanya kontradiktif. Bahwa, seberapun kenaikan levelnya dia belum bisa mengubah kecenderungan lamanya—salah satu kebiasaannya adalah menyapu halaman Taman Kuliner dengan mp3 di kantong celana yang terus berdendang.

Tapi justru dari kontradiktif ini, lahir kesadaran tentang kebiasaan yang sulit tertinggal, walau sebenarnya level baru telah kita perankan.

Sudah tiga tahun lebih enam bulan saya tinggal di Yogyakarta. Perlahan-lahan saya menikmati proses hidup di sini. Dari mulai menjajakkan Koran (artikel tentang aktivitas ngasong Koran saya bisa dilihat pada judul “Angry dan Romantisme Betis Lampu Merah), menikmati proses sebagai tukang kirim artikel ke media, menerima proyek pembuatan buku, hingga eksis di penerbitan.

Proses hidup selama 3 tahun ini, perlahan-lahan membuat kultur hidup lama saya terkelupas. Saya menikmati sensasi bangun pukul 7 pagi, lalu perlahan-lahan mengingat tugas hari ini sebelum setengah jam kemudian berangkat menuju tempat kerja. Saya manusia pekerja hingga pukul setengah 5 sore. Lalu pulang, dan duduk di tempat kost kecil sambil memikirkan hal-hal yang kadang tidak perlu dibahas oleh otak.

Menikmati hari munggu sebagai hari libur, membelanjakan waktu sabtu siang untuk bermain futsal, mengunjungi perpustakaan kota (tradisi yang semoga saja berjalan seterusnya), ngobrol dengan orang-orang berwawasan dengan gaya bahasa yang kadang butuh buka kamus segala. Ini kultur baru. Tidak bedanya tukang sapu Taman Kuliner yang siang ini menerima sensasi barunya: berbaju klimis, rambut tertata, dan parfum radius 100 meter itu.

Tidak bedanya tukang sapu yang masih belum bisa membuang tradisinya untuk mengantongi mp3 dengan lagu-lagu dangdut khas pantura walau detik ini dia berpenampilan klimis, hari ini, saya pun masih merindu sayur asem khas bikinan orang rumah.

Sayur asam itu, di mana pun kalian menikmatinya, tetap saja dibuat dari bahan yang sama: buah asam, tumbukan cabe, ulekan bawang. Berbeda hanya dari bentuk sayur yang ingin kalian masukkan saja: kangkung, buncis, labuh, tapi sayur asam isi kubis yang paling saya suka.

Sayur asam isi kubis, merindunya adalah menjelajah pemikiran dan cita-cita orang tua. Maka ketika saya di Yogyakarta, lalu tercium aroma sayur itu, di situlah saya ingat estafet yang harus saya teruskan. Mulai sekarang, kalian bisa saja merindu segala sesuatu, tapi tidak akan mengalahkan komplikasi rasa yang saya raih di saat kangen sayur itu. Merindu makanan menjadi aktivitas jelajah impian orang desa: orang tua, adik-adik, tetangga, juga bulek-bulek saya. 

Siang hari, ketika Taman Kuliner tidak lagi gerah, hujan membuat bebasahanan besar, saya hanya bisa berdoa, tukang sapu taman itu mampu mempertahankan penampilannya. Sebab hujan turun begitu deras, dan rambut tertatanya tidak berubah lepek atau wajahnya akan kembali seculun pagi hari, saat-saat di mana dia menjelajah taman dengan sapu kecintaannya. Dan biarlah mp3 itu tetap dia alunkan, toh, itu adalah bukti darimana dia berasal.

Yogyakarta, 16 Februari 2012
Tags: ,

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © 2025 New Paraqibma | Designed by Templateism.com