Senin, 23 April 2012

Inspeksi Perempuan, Aku pun Rabun Jauh

Share & Comment

Bisa dirasakan, parfum menyengat campur dengan angin AC itu berdesakan masuk di lubang hidung saya. Sangat berdesakan. Keduanya tidak mau mengalah: saya duduk di line bangku sebelah kiri, lubang AC menganga di atas saya. Sedang perempuan itu di line bangku sebelah kanan, setara dengan tempat duduk saya, sambil mengipas-kipaskan kertas kecil, parfum menyeruak.

Di atas bus, sambil menahan ngilu sendi tumit, tampaknya saya juga harus menahan ujian parfum itu.

Perempuan berparfum tajam itu tidak sendiri. Dia duduk dengan seorang laki-laki, tubuhnya kekar, bertopi kabaret, tapi saya yakin, dia bukan TNI. Cembung perutnya begitu buncit, tidak pantas jadi tentara.

Memerhatikan perempuan itu, berarti menghitung jumlah kekesalan tentang wangi parfumnya, menyiksa! Menghilangkan selera kantuk saya saat bertranportasi. Kantuk hilang, saya terus mengamati, melirikkan mata ke sebelah kanan, melihatnya bercengkerama paksa dengan suaminya. Pertanyaan pun muncul, “Dengan apa laki-laki merayu istrinya?”

Istrinya itu lebih pantas disebut ibu-ibu pengajian. Jilbabnya yang tidak hanya menutup bagian kepala tapi juga menjulur menutup bagian dada, tatapan matanya yang teduh, dan gerak-gerik yang begitu terkontrol. Melihat pemandangan itu, lalu memadukannya dengan keadaan suaminya, maka sah-sah saja saya melanjutkan Tanya, “Sebab apa perempuan itu berkata ya untuk pinangan laki-lakinya?”

 Istri yang surgawi, dan suami yang premany.

Ya, preman! Selain karena tebal kumisnya yang menyerupai lintah, kerut wajahnya menjadi factor pendukung untuk mengatakan dia laki-laki seram yang terbiasa bersuara keras, menanam arogansi dalam setiap aktivitasnya.

Kenyataannya saya hanya melihat secara sekilas, tapi dari hal sekilas ini, saya semakin bingung dengan takdir perempuan. Tentang kotak jodoh mereka yang sangat jauh dari prediksi. Mengingatkan saya pula, dengan sms teman saya, yang mengabarkan: Si A telah menikah dengan si B.

Si A adalah teman cewek saya saat masih Sekolah Dasar. Dia yang cenderung berpenampilan high class, terbiasa nyombong, akhirnya menikah dengan si B, laki-laki dari golongan desa yang terbiasa dicibir starta ekonominya.

Bagi perempuan, menjawab pertanyaan saya di atas memang mudah. Mereka cukup bilang, “Ya, namanya jodoh, mau bagaimana lagi.” Tapi bukan itu jawaban yang saya cari. Bukan jawaban yang menyiratkan kepasrahan, tapi saya butuh alas an yang menyimbolkan prosesi bagaimana kalian bisa menerimanya.

Setangkup pertanyaan tentang perempuan saya bawa di atas bus perjalanan Surabaya-Jogja, hingga akhirnya bertemu dengan pasutri kontradiktif, dengan istri berjilbab berparfum menyengat khas ibu-ibu masjid.

Kalau memang hidup sebentuk pelarian, kita dikejar banyak hal, maka perempuan adalah orang pertama yang ramai diincar monster-monster menakutkan. Kita bisa menamainya dengan monster usia, tuntutan orang tua, atau monster-monster lain yang belum kita temukan namanya.

Hingga ketika monster-monster itu sudah dekat begitu dekat jaraknya, perempuan biasa menggumam pasrah sekaligus sebagai alas an, “Inilah jodoh, inilah takdir. Aku harus menerima.” Monster usia, monster tuntutan orang tua, dan monster bla bla bla finally bisa menangkap mereka.

Di atas bus dan setangkup pertanyaan, saya teringat oleh episode yang mempertemukan saya dengan novel GARIS PEREMPUAN karya Sanie B. Kuncoro. Di sinilah saya mencoba mengeruk jawaban antara takdir, jodoh, dan kepasrahan perempuan.
***

Empat Perempuan, Empat Nasabah Kegelisahan

Mula-mula kita akan menyebut Sanie B. Kuncoro sebagai pemilik salon kecantikan khusus perempuan, dan novel GARIS PEREMPUAN inilah salonnya.

Saya membuka pintu masuk GARIS PEREMPUAN itu. Lalu di sinilah saya berkenalan dengan 4 perempuan istimewa: Ranting, Gendhing, Tawangsri, Zhang Mey. Merekalah perempuan dengan kompleksitas masalah (takdir, jodoh, dan kepasrahan) yang Sanie B. Kuncoro perankan.

Bab pertama, saya duduk di samping Ranting. Mendengar ceritanya, memeluk hidupnya. Lalu mengalirlah ajaran, “Kami perempuan, kamilah yang—kadang—hidup sebagai barang.”

Ranting memang hidup di antara kemiskinan. Tidak hanya miskin, tapi juga didera ketidak seimbangan ketika ayahnya meninggal sedang ibunya sangat ringkih sebab penyakit kronisnya.

Kemiskinan inilah yang mula-mula membentuk Ranting sebagai barang. Basudewo, sebagai juragan kaya sukses membelinya, memeluknya bukan sebagai istri pertama, dengan jaminan dia akan membawa Ibu Ranting ke rumah sakit, untuk operasi.

Ini adalah hukum hidup yang sah. Sah, sebab ada imbalan ada jasa. Itu hukum yang wajar. Imbalan Ranting adalah melihat Ibunya bisa berobat, sedang konsekuensinya dia harus memberi jasa (semacam service) sebagai istri bagi juragan kaya.

Hidup demikian, tatanan sudah terbentuk. Kita harus mengikuti. Tapi di saat itu juga, Ranting seolah menyubit lengan saya, menyalahkan prinsip tersebut.

“Lalu pada tatanan yang mana kita akan selamanya tunduk?” begitu Ranting berbisik. “Rasa sesal muncul, ketika kita harus menerima peran hidup yang 80% berisi paksaan dan barulah 20%-nya berisi kebebasan.”

Hukum imbal-jasa di atas memang benar. Benar! Seperti juga kebenaran perasaan Ranting, untuk memprotes hidup, supaya dia diperankan sebagai perempuan yang bisa menikmati pernikahan bukan karena dasar himpitan atau paksaan.

Ranting berbisik, Ranting mencubit, saya menyanggah, “Biarlah! Ketika tidak ada suguhan lain kecuali empedu, maka nikmatilah. Setidaknya kita masih diberi janji untuk menikmati ayam dada esok hari.”

Ranting tidak sendiri. Perempuan kedua yang menyalami saya adalah Gendhing. Alur kemiskinan membawanya pada lingkaran sungai berbenuk paksaan. Dia menyerah dengan tawaran Indragiri ketika keluarganya membutuhkan uang untuk pelunasan hutang.

Maka pada dua perempuan ini, saya mengenal monster baru yang biasa mengejar perempuan. Satu monster bernama himpitan sosial.

Lalu saya bertanya, istri dengan parfum khas ibu-ibu masjid yang bersuami kekar itu apakah juga menikah atas dasar di atas?

Kenyataannya, kontradiksi selalu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Saya yakin, perempuan di atas bus Surabaya-Jogja itu pernah menghadapi hidup dengan porsi kebahagiaan yang kurang proporsional. Seperti Ranting, juga Gendhing: 80% paksaan, 20% kebebasan.

Dua perempuan telah Sanie B. Kuncoro perkenalkan kepada saya, lewat salon perempuannya bernama GARIS PEREMPUAN. Perempuan dengan satu pilihan MENU HIDUP saja. Sebelum beranjak pada perempuan ketiga dan keempat.

Pada perempuan selanjutnya ini, mula-mulanya kita akan memercayai, hidup memang banyak pilihan. Berbagai MENU telah tersaji, lalu bergantung mana yang akan Tawangsri dan Zhang Mey pilih.

Tawangsri dan Zhang Mey memang bukan perempuan miskin. Inilah dasar pertama yang membuat hidup mereka tidak berporsi 80% paksaan dan 20% kebebasan. Tawangsri bertemu dengan Jenggala, laki-laki berperangai baik. Keduanya bisa menumbuhkan tautan-tautan kasih sayang. Sebelum pilihan-pilihan menu itu hilang dan terpaksa tidak mereka pilih, bukan karena sebentuk paksaan, tapi lebih karena rasa sadar. Inilah alur hidup yang wajar. mengasyikkan, walau akhirnya Tawangsri berada pada keputusan ngambang, ketika Jenggala yang seorang duda belum siap menerima bentuk percintaan baru dan membuang almarhum mendiang istrinya.

Sesakit apa pun, porsi hidup Tawangsri bukan porsi 80% paksaan dan 20% kebebasan seperti yang dialami Ranting dan Gendhing.

Ini bukanlah cara kita untuk mengkambing hitamkan kemiskinan. Lalu seoal-olah miskin adaah factor utama yang menghalangi kita untuk menerapkan prinsip hidup adalah pilihan. Bukan! Hanya saja, kita akan mengatakan, kemiskinan akan menggiring kita untuk mudah pasrah.

Garis perempuan begitu rumit untuk saya pahami. Serbuan monster yang mengejar-kejar mereka (monster usia, monster orang tua, monster lingkungan, monster kemiskinan) membuat saya semakin kabur, di manakah garis-garis itu bisa dibaca. Setidaknya setiap masa depan selalu menyisakan tanda, untuk diraba, lalu diyakinkan.

Yogyakarta, 22 April 2012

  
Tags:

Written by

Penulis buku, tinggal di Yogyakarta. Twitter: @Naqib_Najah

  • Punya Materi Bagus Tapi Tidak Ada Waktu Menulis!

    Banyak dosen yang tidak mempunyai waktu untuk menulis, padahal, mereka punya materi yang sangat bermanfaat.

  • Saya menulis buku biografi!

    Saat ini buku sudah dilirik sebagai media dokumentasi hidup yang sangat positif. Anda butuh penulisan biografi?

  • Berapa Biaya Hidup di Jogja? (Feature Radio)

    Ini dia pertumbuhan biaya hidup di kota pelajar ini. Pengin tahu lebih lanjut?

  • Jogja Kian Macet! (Esai Foto)

    Januari 2014 lalu saya beserta tim membuat esai foto menyoroti pembangunan hotel dan tingkat kemacetan....

  • Pengin Bikin Iklan Produk dalam Bentuk Video? Murah Kok!

    Iklan dengan bentuk video ternyata terkesan beda. Banyak orang melakukan hal ini, tapi... berapa sih biayanya?

 

Paraqibma Video Project


Layaknya anak-anak seusianya, Akila sering menemukan masalah saat proses belajar. Mulai dari susah diminta mengerjakan PR, hingga kejenuhan dengan sistem belajar.

Apa yang terjadi pada Akila selanjutnya? Simak video iklan berikut: Quamon, mini project by Paraqibma.

Artikel Bisnis


Dizipoint menjadi jembatan antara pebisnis dan pasar online. Selain plaza online, Dizipoint juga menyediakan artikel-artikel bisnis bagi pengunjung.

Saya menulis artikel-artikel bisnis untuk plaza online tersebut. Silakan login di sini untuk membaca artikelnya.

New Aquarich (Coming Soon)

Copyright © New Paraqibma | Designed by Templateism.com