Bisa
dirasakan, parfum menyengat campur dengan angin AC itu berdesakan masuk di
lubang hidung saya. Sangat berdesakan. Keduanya tidak mau mengalah: saya duduk
di line bangku sebelah kiri, lubang AC menganga di atas saya. Sedang perempuan
itu di line bangku sebelah kanan, setara dengan tempat duduk saya, sambil
mengipas-kipaskan kertas kecil, parfum menyeruak.
Di atas
bus, sambil menahan ngilu sendi tumit, tampaknya saya juga harus menahan ujian
parfum itu.
Perempuan
berparfum tajam itu tidak sendiri. Dia duduk dengan seorang laki-laki, tubuhnya
kekar, bertopi kabaret, tapi saya yakin, dia bukan TNI. Cembung perutnya begitu
buncit, tidak pantas jadi tentara.
Memerhatikan
perempuan itu, berarti menghitung jumlah kekesalan tentang wangi parfumnya,
menyiksa! Menghilangkan selera kantuk saya saat bertranportasi. Kantuk hilang,
saya terus mengamati, melirikkan mata ke sebelah kanan, melihatnya
bercengkerama paksa dengan suaminya. Pertanyaan pun muncul, “Dengan apa
laki-laki merayu istrinya?”
Istrinya
itu lebih pantas disebut ibu-ibu pengajian. Jilbabnya yang tidak hanya menutup
bagian kepala tapi juga menjulur menutup bagian dada, tatapan matanya yang
teduh, dan gerak-gerik yang begitu terkontrol. Melihat pemandangan itu, lalu
memadukannya dengan keadaan suaminya, maka sah-sah saja saya melanjutkan Tanya,
“Sebab apa perempuan itu berkata
ya untuk
pinangan laki-lakinya?”
Istri
yang surgawi, dan suami yang premany.
Ya,
preman! Selain karena tebal kumisnya yang menyerupai lintah, kerut wajahnya
menjadi factor pendukung untuk mengatakan dia laki-laki seram yang terbiasa
bersuara keras, menanam arogansi dalam setiap aktivitasnya.
Kenyataannya
saya hanya melihat secara sekilas, tapi dari hal sekilas ini, saya semakin
bingung dengan takdir perempuan. Tentang kotak jodoh mereka yang sangat jauh
dari prediksi. Mengingatkan saya pula, dengan sms teman saya, yang mengabarkan:
Si A telah menikah dengan si B.
Si A
adalah teman cewek saya saat masih Sekolah Dasar. Dia yang cenderung
berpenampilan high class, terbiasa nyombong, akhirnya menikah dengan si B, laki-laki dari golongan
desa yang terbiasa dicibir starta ekonominya.
Bagi
perempuan, menjawab pertanyaan saya di atas memang mudah. Mereka cukup bilang, “Ya,
namanya jodoh, mau bagaimana lagi.” Tapi bukan itu jawaban yang saya cari.
Bukan jawaban yang menyiratkan kepasrahan, tapi saya butuh alas an yang
menyimbolkan prosesi bagaimana kalian bisa menerimanya.
Setangkup
pertanyaan tentang perempuan saya bawa di atas bus perjalanan Surabaya-Jogja,
hingga akhirnya bertemu dengan pasutri kontradiktif, dengan istri berjilbab
berparfum menyengat khas ibu-ibu masjid.
Kalau
memang hidup sebentuk pelarian, kita dikejar banyak hal, maka perempuan adalah
orang pertama yang ramai diincar monster-monster menakutkan. Kita bisa menamainya
dengan monster usia, tuntutan orang tua, atau monster-monster lain yang belum
kita temukan namanya.
Hingga
ketika monster-monster itu sudah dekat begitu dekat jaraknya, perempuan biasa
menggumam pasrah sekaligus sebagai alas an, “Inilah jodoh, inilah takdir. Aku harus
menerima.” Monster usia, monster tuntutan orang tua, dan monster bla bla bla finally bisa menangkap mereka.
Di atas
bus dan setangkup pertanyaan, saya teringat oleh episode yang mempertemukan
saya dengan novel GARIS PEREMPUAN karya
Sanie B. Kuncoro. Di sinilah saya mencoba mengeruk jawaban antara takdir,
jodoh, dan kepasrahan perempuan.
***
Empat Perempuan, Empat Nasabah Kegelisahan
Mula-mula
kita akan menyebut Sanie B. Kuncoro sebagai pemilik salon kecantikan khusus
perempuan, dan novel GARIS PEREMPUAN inilah
salonnya.
Saya
membuka pintu masuk GARIS PEREMPUAN itu.
Lalu di sinilah saya berkenalan dengan 4 perempuan istimewa: Ranting, Gendhing,
Tawangsri, Zhang Mey. Merekalah perempuan dengan kompleksitas masalah (takdir,
jodoh, dan kepasrahan) yang Sanie B. Kuncoro perankan.
Bab
pertama, saya duduk di samping Ranting. Mendengar ceritanya, memeluk hidupnya. Lalu
mengalirlah ajaran, “Kami perempuan, kamilah yang—kadang—hidup sebagai barang.”
Ranting
memang hidup di antara kemiskinan. Tidak hanya miskin, tapi juga didera ketidak
seimbangan ketika ayahnya meninggal sedang ibunya sangat ringkih sebab penyakit
kronisnya.
Kemiskinan
inilah yang mula-mula membentuk Ranting sebagai barang. Basudewo, sebagai juragan
kaya sukses membelinya, memeluknya bukan sebagai istri pertama, dengan jaminan
dia akan membawa Ibu Ranting ke rumah sakit, untuk operasi.
Ini adalah
hukum hidup yang sah. Sah, sebab ada imbalan ada jasa. Itu hukum yang wajar. Imbalan
Ranting adalah melihat Ibunya bisa berobat, sedang konsekuensinya dia harus
memberi jasa (semacam service) sebagai istri bagi juragan kaya.
Hidup
demikian, tatanan sudah terbentuk. Kita harus mengikuti. Tapi di saat itu juga,
Ranting seolah menyubit lengan saya, menyalahkan prinsip tersebut.
“Lalu
pada tatanan yang mana kita akan selamanya tunduk?” begitu Ranting berbisik. “Rasa
sesal muncul, ketika kita harus menerima peran hidup yang 80% berisi paksaan
dan barulah 20%-nya berisi kebebasan.”
Hukum
imbal-jasa di atas memang benar. Benar! Seperti juga kebenaran perasaan Ranting,
untuk memprotes hidup, supaya dia diperankan sebagai perempuan yang bisa
menikmati pernikahan bukan karena dasar himpitan atau paksaan.
Ranting
berbisik, Ranting mencubit, saya menyanggah, “Biarlah! Ketika tidak ada suguhan
lain kecuali empedu, maka nikmatilah. Setidaknya kita masih diberi janji untuk
menikmati ayam dada esok hari.”
Ranting
tidak sendiri. Perempuan kedua yang menyalami saya adalah Gendhing. Alur
kemiskinan membawanya pada lingkaran sungai berbenuk paksaan. Dia menyerah
dengan tawaran Indragiri ketika keluarganya membutuhkan uang untuk pelunasan
hutang.
Maka
pada dua perempuan ini, saya mengenal monster baru yang biasa mengejar
perempuan. Satu monster bernama himpitan sosial.
Lalu
saya bertanya, istri dengan parfum khas ibu-ibu masjid yang bersuami kekar itu
apakah juga menikah atas dasar di atas?
Kenyataannya,
kontradiksi selalu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Saya yakin,
perempuan di atas bus Surabaya-Jogja itu pernah menghadapi hidup dengan porsi
kebahagiaan yang kurang proporsional. Seperti Ranting, juga Gendhing: 80%
paksaan, 20% kebebasan.
Dua perempuan
telah Sanie B. Kuncoro perkenalkan kepada saya, lewat salon perempuannya
bernama GARIS PEREMPUAN. Perempuan dengan satu pilihan MENU HIDUP saja. Sebelum
beranjak pada perempuan ketiga dan keempat.
Pada
perempuan selanjutnya ini, mula-mulanya kita akan memercayai, hidup memang
banyak pilihan. Berbagai MENU telah tersaji, lalu bergantung mana yang akan Tawangsri
dan Zhang Mey pilih.
Tawangsri
dan Zhang Mey memang bukan perempuan miskin. Inilah dasar pertama yang membuat
hidup mereka tidak berporsi 80% paksaan dan 20% kebebasan. Tawangsri bertemu
dengan Jenggala, laki-laki berperangai baik. Keduanya bisa menumbuhkan
tautan-tautan kasih sayang. Sebelum pilihan-pilihan menu itu hilang dan
terpaksa tidak mereka pilih, bukan karena sebentuk paksaan, tapi lebih karena
rasa sadar. Inilah alur hidup yang wajar. mengasyikkan, walau akhirnya
Tawangsri berada pada keputusan ngambang, ketika Jenggala yang seorang duda
belum siap menerima bentuk percintaan baru dan membuang almarhum mendiang
istrinya.
Sesakit
apa pun, porsi hidup Tawangsri bukan porsi 80% paksaan dan 20% kebebasan
seperti yang dialami Ranting dan Gendhing.
Ini bukanlah
cara kita untuk mengkambing hitamkan kemiskinan. Lalu seoal-olah miskin adaah factor
utama yang menghalangi kita untuk menerapkan prinsip hidup adalah pilihan. Bukan!
Hanya saja, kita akan mengatakan, kemiskinan akan menggiring kita untuk mudah
pasrah.
Garis
perempuan begitu rumit untuk saya pahami. Serbuan monster yang mengejar-kejar
mereka (monster usia, monster orang tua, monster lingkungan, monster
kemiskinan) membuat saya semakin kabur, di manakah garis-garis itu bisa dibaca.
Setidaknya setiap masa depan selalu menyisakan tanda, untuk diraba, lalu
diyakinkan.
Yogyakarta, 22 April
2012