![]() |
Ahmad dan Ambar. Image by: teaterkatak.org |
Jika ditanya siapa orang paling sakit, tentu beragam jawabannya. Tapi cerita Ahmad memberi penggambaran sendiri, betapa sakitnya menjadi orang yang tidak sadar diri.
Sangat malang nasib Akhmadin Ahmad. Malang bukan karena dia menderita kemiskinan, bodoh, atau berada dalam kasta C di lingkungan sosial. Ahmad, panggilan akrabnya, adalah seorang insinyur. Desain arsitekturnya sudah berbentuk gedung-gedung tinggi di kota besar. Layaknya arstiek, uangnya pun pasti mencukupi.
Akan tetapi, garis hidup Ahmad memang sangat dekat dengan ironi. Di tengah segala kelebihan yang dia punya (arsitek, pembawaan baik dan tidak mau menyakiti orang lain), Ahmad ternyata punya penghalang besar untuk menikmati kebahagiaan.
Penghalang pertama adalah ketidaksadaran diri. Di balik karakter jujurnya terhadap orang lain, Ahmad justru tidak bisa jujur dengan dirinya sendiri. Dia tidak sadar diri, bukan berarti dia sombong atau berkata bohong kepada orang lain. Akan tetapi, ketidaksadaran diri Ahmad terletak pada, ketidakmampuan meraba kelebihan yang dia punya.
Sangat disayangkan, ketika orang sekelas Ahmad yang sudah menjadi arsitek hebat, Ahmad masih menyimpan perasaan minder yang acapkali terlihat dari gesture tubuhnya: kedua tangannya suka melinting ujung baju, sementara gaya bicaranya terpenggal-penggal, seolah tidak yakin dengan yang dia omongkan.
Selain itu, cara berpikirnya lebih mendahulukan rasa takut daripada sikap optimis. Maka Ahmad jauh dengan kebahagiaan, karena rentetan masalah yang lahir dari pikirannya sendiri.
![]() |
Ahmad dan pesaingnya. Image by: teaterkatak.org |
Status jomblo Ahmad akan segera terhapus. Ambar sudah menerimanya. Tapi apa yang terjadi? Ahmad malah mundur dari pernikahan. Jalan yang sudah terbuka, tertutup lagi. Bukan karena Ambar atau keluarganya, tapi Ahmad sendiri yang menutupnya.
Bayangan akan repotnya pernikahan, ditambah lagi biaya serta komitmen untuk terus membahagiakan istri, Ahmad akhirnya memilih mundur. Ahmad tidak sadar, bahwa sebenarnya dia mampu melakukan itu.
***
Cerita Ahmad di atas ada dalam teater berjudul "Perkawinan" yang dipentaskan oleh Teater Pandora, Jumat (30/10/15) di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta. Selama kurang lebih satu jam setengah, saya menikmati sekali peran Ahmad dalam lakon teater tersebut.
Di balik kelebihan yang ada dalam dirinya, Ahmad ternyata menyimpan musuh besar, yakni ketidakmampuan Ahmad meraba siapa dia sebenarnya. Saya bisa merasakan menderitanya seorang Ahmad, yang suka membatasi diri dari kebahagiaan hanya karena alasan minder, dll.
Dalam pertunjukan teater, gesture tubuh Ahmad (melinting baju, ngomong tersendat-sendat, tatapan mata yang sering menunduk ke bawah, respons yang spontanitas), adalah bahasa bahwa dia terintimidasi oleh jutaan rasa takut.
Batin saya bertanya, kenapa harus takut Ahmad? Kamu itu arsitek, punya kemampuan, orang baik. Lalu apa yang membuatmu takut?
Melihat Ahmad yang tidak sadar bahwa dirinya hebat, saya teringat dengan pendapat Imam Al Ghazali tentang empat golongan manusia. Pertama, manusia yang pintar dan tahu kalau dirinya pintar; kedua, manusia yang pintar tapi tidak tahu kalau dirinya pintar; ketiga, manusia yang bodoh dan sadar kalau dirinya bodoh; dan terakhir, manusia yang bodoh tapi tidak sadar kalau dirinya bodoh.
Ahmad masuk pada golongan kedua: pintar tapi tidak sadar kalau dirinya pintar. Saya menyebutnya golongan yang penuh dengan ironi. Ketidaksaran bahwa dirinya pintar, membuatnya membatasi dari beberapa kesempatan untuk meraih kebahagiaan. Maka jika ditanya siapa manusia paling sakit, Ahmad dan Ahmad-ahmad lain jawabannya.
Jakarta, 4 November 2015.