Saya mengenalnya
hanya dalam hitungan hari. Karena sering main ke kost teman, dengan sendirinya
saya bertemu dengannya, walau pun sebatas bertemu dan numpang lewat
saja. Selasa malam kemarin, saya akhirnya satu lingkaran. Kami bareng, saya,
dia, dan dua sahabat lain. Selasa malam itu ia membuat saya mendengar begitu
banyak tentang kehidupannya: dia sedang sakit, merasakan luka yang sama seperti
yang saya rasakan bertahun-tahun dulu.
Malam itu,
dia menceritakan kondisi psikisnya yang kurang nyaman. Katanya, kondisi tidak
nyaman ini ia pendam hampir tiga tahun. Segala ketidaknyamanan bermula dari
jiwanya yang ia lepaskan tanpa kendali.
Pelepasan pertama: ia mempunyai pacar.
Hubungan antara dia dan kekasihnya sudah terjalin hampir tiga tahun. Tahun pertama
ia lalui begitu indah, ketika jarak belum menjadi halangan. Namun cerita
menjadi berbeda ketika ia pindah dari Klaten menuju Yogyakarta.
Jarak
Jogja-Klaten memang tidak sebegitu jauh. Akan tetapi, sedekat apa pun sebuah
jarak jika tidak disertai dengan kepercayaan, akan jatuh pada kerisauan juga.
Ia risau
perial komitmen pasangannya. Kerisauan itu yang membuatnya melepaskan jiwa dari
dirinya sendiri.
Pelepasan kedua: kerisauan itu memakan durasi
yang cukup lama. Bermula dari ketidakpercayaan, masalah bertambah dengan
kondisi dia yang mencurigai adanya orang ketiga. Jiwanya semakin lari. Pada kondisi
seperti ini, ia membiarkan jiwanya terombang-ambing antara kekasihnya, dan
orang ketiga.
Dua kondisi
“pelepasan” membuat tidurnya tidak nyenyak. Hatinya tidak pernah nyaman. Selalu
kosong!
***
Pertemuan kedua
dalam agenda Jumat Meditasi yang saya ikuti di Wihara Buddha Prabha, masih
memfokuskan diskusi pada kemampuan diri kita menjaga jiwa yang kita miliki.
Artikel ini sebenarnya adalah penjabaran dari tulisan berjudul “Dari Gua Jun,
Ajahn Brahm Hingga Ajaran Mencintai Diri Sendiri” yang saya posting beberapa
minggu silam (link artikel bisa dilihat di sini).
Bahwa
membawa jiwa pada wilayah yang sedang kita tempati sangatlah sulit. Contoh,
ketika kita sedang berada di kelas, seringkali jiwa kita justru lari ke
wilayah-wilayah lain. Atau ketika kita sedang bertemu dengan orang A, justru
seringkali jiwa kita melayang pada orang lainnya.
Kondisi lari
seperti ini sangat tidak menguntungkan. Bagaimana saya bisa berucap demikian? Setidaknya
saya adalah orang yang sangat dirugikan oleh aktivitas-aktivitas ‘pelarian’
seperti ini. Saya punya pengalaman ‘gejala psikologis’ yang kompleks. Oleh
karenanya, saya bisa bicara banyak perihal hal-hal yang menyakiti diri sendiri.
Di dalam
cerita di atas, kondisi pelarian tidak menguntung sahabat baru saya. Kita sering
menjadikan jiwa kita layaknya kapas yang terombang-ambing antara satu orang ke
orang lainnya. Dalam sebuah penjelasan, salah satu guru pembimbing meditasi
mencontohkan, mayoritas orang tidak mempunyai magnet untuk jiwanya sendiri. Sebaliknya,
jiwanya justru disenyawakan dengan magnet yang ada di jiwa lainnya. Efeknya, ia
terombang-ambing dengan mudah.
Analogi
capeknya jiwa kita jika lari dari diri sendiri sangatlah mudah. Jiwa sama
halnya dengan fisik. Ketika fisik terasa ngos-ngosan setelah menyelesaikan lari
lima putaran lapangan, maka psikis pun memiliki efek yang sama.
Belakangan
saya sering menyebut sindrom ‘lari’ ini sebagai penyakit candu. Kita mempuyai
jiwa yang mudah terserang candu: selalu menggantungkan beberapa hal kepada
benda lain. Kita bahagia jika berdekatan dengan sahabat tertentu. Kita bahagia
hanya saat berdekatan dengan orang A.
Saya mudah
sekali terserang penyakit seperti ini. Saya mudah terjebak pola, hingga
akhirnya lahirlah candu.
***
Dalam
beberapa kesempatan, saya sering bertanya kepada diri sendiri, apa tujuan
mengikuti meditasi?
Jawaban sederhananya
ya karena saya butuh ketenangan. Namun kenyataannya meditasi bukan sekadar
mencari ketenangan.
Jawaban sederhananya
lagi ya karena saya punya banyak masalah psikologis. Namun kenyataannya
meditasi bukan hanya perihal menyembuhkan kondisi psikis.
Saya menemukan
banyak ‘kedalaman’ di dalam meditasi. Dengan catatan, taraf meditasi saya baru
sebatas pemula. Baru sebatas bisa merem dan belum sepenuhnya fokus mengingat
arahan pembimbing. Namun di dalam meditas, di tengah kondisi saya yang
lagi-lagi belum sepenuhnya menguasai, saya berterima kasih banyak telah diberi
ajaran mencintai napas dan momen saat ini.
Tulisan ini
sebenarnya juga sudah disinggung pada artikel sebelumnya. Tapi tidak masalah
jika kita membahasnya kembali.
Di dalam
hidup ini, kita selalu butuh analogi. Mencintai napas dan merasakan sensasinya
menjadi poin penting di dalam meditasi. Sebelum meditasi, seperti halnya
kutipan dari Master Guojun Fashi, napas adalah sahabat kita. Napas selalu
datang ke dalam hidup kita. Napas menghampiri kita tanpa perlu tahu apakah kita
balik memberi perhatian kepadanya atau tidak. Napas adalah simbol ketulusan.
Oleh
karenanya, jika kita ingin fokus, maka sederhanya adalah perlakukan napas
sebagaimana kita memberi kasihsayang kepada orang yang kita istimewakan. Dengan
langkah ini, perlahan-lahan kita akan masuk ke dalam diri kita sendiri. Hingga
jiwa yang semula berkelana, kembali menyatu.
Sebagai
penutup, semoga teman baru yang sedang melepas jiwanya itu, segera
diperkenankan kembali. Sebab tidak ada tempat terbaik kecuali wilayah di mana
kita ditempatkan hari ini. Sebab tidak ada waktu terbaik kecuali momen yang
kita rasakan saat ini. Sebab tidak ada yang lebih membahagiakan, kecuali jika
kita mampu membuka pintu untuk diri sendiri.
Kun Haitsu Aqomakallah! Berposisilah
sebagaimana Tuhan menempatkanmu. Jika lepas justru menyakitkan, kenapa kita
tidak mencoba untuk merangkul jiwa ini?
Yogyakarta,
12 Desember 2013