Di bab-bab awal biografi Steve Jobs, Walter Isaacson mencoba menceritakan sosok Steve Wozniak. Pria aneh yang lima tahun lebih tua dari Jobs tapi tidak lebih dewasa dari pendiri Apple tersebut. Wozniak tipe orang yang sangat menjaga norma-norma. Patuh pada aturan. Berbanding terbalik dengan Jobs.
Kepribadian Wozniak, sebagian besar dipengaruhi oleh ayahnya. Nasihat-nasihat sang ayah kepada Woz mengalir hingga pria ini duduk di bangku kuliah. Salah satunya tentang kejujuran, yang diklaim Woz, ia tidak pernah berbohong kecuali untuk urusan joke.
"Ayahku percaya dengan kejujuran. Kejujuran sejati. Itulah hal paling penting diajarkannya kepadaku. Aku tidak pernah berbohong, bahkan hingga hari ini," ucap Wozniak.
Warisan sang ayah berikutnya adalah soal ambisi. Francis Wozniak tidak mewarisi putranya ambisi yang meledak-ledak. Justru, nasihat ayah Woz adalah agar anaknya tidak menjadi orang yang ambisius.
Sepanjang membaca buku Walter Isaacson tentang Jobs, penyelaman karakter Wozniak ini menjadi salah satu bagian yang sangat menarik. Ayah, nasihat dan pengaruhnya untuk karakter anak, begitu kental dalam kehidupan Woz.
Sampai usia saya yang sebentar lagi menginjak 28 tahun, warisan yang saya punya dari bapak saya adalah nasihat. Bapak tidak mewariskan rumah, mobil, atau sebidang tanah. Boro-boro kata orang Jakarta.
Tidak ada tangible asset yang Bapak serahkan untuk saya. Tapi, Bapak telah mewariskan nasihat-nasihat yang sampai sekarang, masih suka berkelindan dan melingkari hidup saya.
Dulu, setiap kali melewati tempat pemakaman umum, Bapak memberikan nasihat, "Baca salam. Assalaamualaikum ya ahlal qubur," ucap Bapak, sambil membonceng saya. Bapak seperti punya alarm untuk mengingatkan saya agar membaca salam setiap kali melewati makam.
Dan kini, diam-diam saya masih suka menjalankan nasihat tersebut. Salam yang kita ucapkan, akan menjadi doa bagi yang sudah meninggal.
Warisan Bapak saya adalah nasihat. Banyak dari nasihat tersebut tentang doa-doa. Setiap kali berangkat kerja (atau bisa juga tempat tujuan lain), bibir saya melafal doa-doa, dari sholawat hingga dzikir lainnya. Persis seperti yang Bapak nasihatkan.
Ucap Bapak, "Doa yang kita ucapkan, akan menjadi pelindung." Merujuk pada hadist nabi, addua silahul mukmin.
Saat melihat pecahan batu yang berserakan dijalan, warisan Bapak menggerakkan kaki saya untuk menyingkirkan kerikil tersebut. Saya dulu sering diajak salat berjamaah ke masjid di sekitar rumah oleh Bapak. Sepanjang perjalanan ke masjid, setiap kali melihat kerikil, kaki Bapak berusaha menyingkirkannya dari tengah jalan. "Agar tidak mengganggu orang yang lewat."
Tidak hanya soal kerikil, penempatan posisi saat jalan pun, Bapak mewarisi saya sebuah nasihat. "Jika jalan dengan orang yang lebih terhormat (ustadz, guru, dll.) posisikan diri kamu di sebelah kiri." Sebab agama menganjurkan kita meludah ke arah kiri, maka tidak sopan kalau kita berjalan di sebelah kanan guru atau orang yang kita hormati. Agar nanti saat meludah, tidak meludah pada posisi dia berdiri.
Memungut nasihat Bapak seperti menghitung jumlah pelukan orang tua kepada anaknya. Tidak terhitung, begitu banyaknya.
Di saat Woz tumbuh di tengah gairah besar terhadap komputer, lagu Bob Dylan serta teman (Jobs) yang pecandu LSD, Woz tetap mampu menjaga 'siapa dirinya' lewat nasihat-nasihat sang ayah.
Mungkin di antara nasihat-nasihat orang tua ada yang membuat kita sebal atau kita abaikan. Sama seperti kesebalan saya untuk gabung dalam jamaah sholawat malam Jumat--sebab dulu ada tayangan Lupus ba'da Isya di hari yang sama. Tapi, nasihat tetaplah sebuah nasihat, warisan yang membekali hidup kita.
Bekasi, 17 Januari 2016